Saya masih ingat hari itu.
Hari di mana saya menemaninya hujan-hujanan lewat tengah malam, di saat itu pria yang dicintainya baru saja menggelar resepsi pernikahan yang megah.
Saya tak berusaha menghibur ataupun memberinya nasehat apapun, hanya menemaninya dalam diam dan turut merasakan dukanya di sebuah hotel terpencil di puncak gunung yang dinginnya menusuk sampai ke tulang sumsum.
Pihak keluarga sangat menyayangkan hubungan mereka yang kandas di ujung jalan, namun teman saya memilih untuk menyimpan rahasia itu sendiri, alasan mengapa mereka berpisah dan menjalani hidup masing-masing seperti sedia kala. Ya, dari asing kembali asing.
Baru menjalani kehidupan pernikahan sekitar 2 bulan, pria itu dikabarkan bercerai dan memiliki banyak hutang dari pernikahan singkat yang dilaluinya.
Dia menyesal telah menikahi wanita yang salah, wanita yang hanya mencintai apa yang bisa dibanggakan dan bisa diambil dari pria tersebut.
Alih-alih merasa bangga karena dicintai oleh perempuan yang tulus dan bisa menjaga kemuliaan dirinya, dia merasa egonya terluka karena keinginan rendahnya ditolak berkali-kali, dia malah ingin membuktikan bahwa teman saya bukanlah wanita satu-satunya, sehingga dia menikahi wanita baru yang ditemuinya secara serampangan.
Dengan jabatan, fisik dan apa yang dititipkan Tuhan padanya, dia pikir dia bisa membeli apapun yang dia mau, sayangnya tidak dengan keimanan teman saya. Tidak dengan ketulusan dan kemuliaan seseorang wanita.
Tak lama setelah pernikahan jagungnya hancur, pria itu kembali dan kembali lagi, meminta kesempatan kedua dari teman saya selama bertahun-tahun.
Apakah teman saya sudi menerimanya kembali? Tentu saja tidak.
Sebelum pria itu menikah, sudah berulangkali dia memberikan kesempatan, namun pria itu tetap saja mengulang-ulang kesalahan yang sama, meminta suatu hal yang mustahil.
Dulu dia begitu mencintai pria tersebut, tapi sekarang dia lebih mencintai dirinya sendiri.
Dia yang sekarang bukanlah dia yang dulu.
Dia memutuskan untuk menikahi pria beriman dengan pola pikir dan pola hidup yang lebih sehat saja.
Memang benar, belum tentu orang yang hadir di hidup kita adalah jawaban atas doa-doa kita atau jodoh dari Tuhan, bisa jadi dia hanyalah ujian keimanan. Tidak peduli sedekat, sejelas atau sesempurna apapun dia di mata kita.
Beberapa orang mungkin memang ditakdirkan untuk menetap selamanya. Namun bukan sebagai kekasih hati, melainkan sebagai pelajaran dan pengalaman yang tak perlu diulang.
No comments:
Post a Comment