Alkisah, hiduplah seorang pemudi yang merasa dirinya lebih suci dan lebih baik dalam segala hal daripada seorang pemuda pas-pasan yang terkadang melakukan perbuatan dosa yang dapat dilihatnya. Alih-alih mempertimbangkan dan mengajaknya pada kebaikan, si pemudi menghakimi dan menolak niat baik si pemuda itu mentah-mentah tanpa hati dengan alasan yang dibuat-buat olehnya.
"Kita tuh gak sekufu, MOVE ON. Kamu gak sesuai sama ekspektasi dan kriteria idealku."
Roda berputar, keadaan berbalik. Lambat laun, si pemudi semakin cinta dunia dan meninggalkan keimanannya bak anak panah yang melesat tajam dari busurnya. Uangnya habis entah kemana, hidupnya berantakan tak tentu arah. Sementara si pemuda yang merasa dirinya kotor terus bertobat dan memperbaiki dirinya. Seiring membaik kualitas ibadahnya, semakin membaik pula kualitas hidupnya.
Memang si pemuda itu pas-pasan dan terkadang masih melakukan perbuatan dosa, tapi dari semua pemuda yang pernah dikenalnya, si pemuda satu itulah yang paling mending. Hanya saja, si pemudi sudah kadung malu akan perbuatannya di masa lalu. Masa sih dia harus menjilat ludahnya sendiri? Mengejar dan memungut apa yang telah ia buang seakan tak ada pilihan lain?
Si pemudi pun hidup demi gengsi, berpura-pura bahagia agar hidupnya tak terlihat gagal dan menyedihkan. Lelah mencari kekasih hati, diam-diam, ia menunggu kembalinya si pemuda tersebut ke dalam hidupnya. Sayangnya, si pemuda tak pernah tahu bahwa dirinya sedang ditunggu dan diharapkan. Ia malah tak ingin mengusik kehidupan si pemudi yang nampak baik-baik saja dan begitu bahagia tanpa kehadirannya. Mereka tak pernah bertemu lagi, mereka berakhir sebagai dua garis paralel.
No comments:
Post a Comment