Peristiwa jatuh cinta terhadap sesama jenis bukanlah hal yang mengherankan. Peristiwa itu alamiah dan masuk akal karena pada dasarnya setiap manusia memang memiliki energi/hormon maskulin dan feminim yang mengalir dalam darahnya—dan hal itu membuat mereka fleksibel untuk mencintai keduanya. Di sisi lain, definisi indah pun tidak berkelamin. Bisa jadi seseorang menjadi penyuka sesama jenis karena kelebihan energi/hormon yang berlawanan dengan jenis kelaminnya, atau karena hal indah yang membuatnya mabuk kepayang setengah mati kebetulan dimiliki oleh seseorang yang berjenis kelamin sama dengannya.
Pendek kata, jatuh cinta memang suatu peristiwa yang datang secara alami. Akan tetapi, apakah yang datang secara alami itu selalu baik untuk diikuti? Sepertinya tidak selalu. Contoh dari penurutan “sesuatu yang datang alami” berdampak buruk sangat banyak sekali. Yang saya tekankan di sini adalah, suara hati tidak dapat disamakan dengan hati nurani. Suara hati bisa saja salah, sedangkan hati nurani? Ia adalah hati yang bertalian pada petunjuk yang jelas—berlandaskan pada alasan yang kuat dan masuk akal sehat.
Segala sesuatu yang manusia inginkan pada dasarnya memang sesuatu yang sifatnya irasional, yaitu rasa. Entah rasa puas, kagum, tenang, nyaman, damai, bangga, nikmat, lega, senang, hormat, adil, sayang, mabuk, hebat, cinta, kemenangan akbar, dan lain-lain. Namun dalam kehidupan sosial, menurut saya terkadang seseorang memang perlu memiliki dan mengutarakan alasan yang masuk akal sehat supaya caranya untuk meraih keinginan yang irasional tersebut bisa diterima atau memperoleh dukungan.
Di sekitar saya memang banyak orang yang mendukung legalisasi pernikahan sesama jenis, namun saya memiliki sejumlah alasan tersendiri untuk tetap menikah dengan seorang lelaki tulen seandainya saya menikah.
Yang pertama, karena saya adalah pecinta kesehatan yang bersumber pada keseimbangan. Saya sadar bahwa diri saya bukanlah makhluk sempurna yang suka membuang peluang untuk menjadi seimbang dengan cara efisien yang menyenangkan. Dari pengamatan saya secara berulang-ulang di alam, keseimbangan terbaik memang merupakan hasil pertemuan dari hal-hal yang secara alamiah saling tarik-menarik dan berpasang-pasangan. Berdasarkan studi fisiologi reproduksi, hormon wanita yang mempengaruhi mood dan perilaku tidaklah stabil, sedangkan hormon pria cenderung stabil. Proses fertilisasi yang terjadi antara pria dan wanita di sini penting untuk kesehatan kedua belah pihak. Pada pria, hal itu bisa mengurangi resiko kanker prostat dan penyakit lainnya. Pada wanita, sperma berguna untuk membantu proses ovulasi, merangsang produksi hormon baik, meningkatkan kualitas tidur, mencegah kanker payudara, memperlambat proses penuaan dini, antidepresan, sumber kalsium, protein yang kaya, antioksidan, multivitamin alami, dan lain sebagainya. Seandainya saya terlahir sebagai seorang pria, saya pun akan menyalurkan anugrah yang telah dihibahkan kepada saya ke tempat yang lebih membutuhkan. Tunggu dulu, apakah saya menyarankan sesuatu? Bagaimana dengan HAM? Begini... jika Anda lebih memilih untuk jajan makanan mini di restoran mewah dengan pacar Anda yang super hot itu dengan Lamborghini kebanggaan Anda ketimbang menyumbang sekarung beras merah untuk anak-anak yatim piatu yang malnutrisi juga terserah saja. HAM Anda untuk mendahulukan hal yang Anda sukai daripada mengurusi hal yang penting dan genting untuk ditolong. Saya cuma mengingatkan, makin besar kelebihan berarti tanggung jawab makin besar. Dan apa yang Anda cintai belum tentu baik bagi Anda (dan yang lain).
Yang kedua, menurut saya, sebagian orang mungkin memang perlu merasakan penderitaan sebagaimana yang dirasakan oleh orangtuanya dahulu. Ketika orangtuanya mengandung, melahirkan, menyusui, sampai membesarkannya; agar mereka benar-benar menyadari betapa sakit dan susahnya menjadi orangtua. Sehingga, mereka mau berempati kepada para orangtua yang semakin lama semakin lemah dan membutuhkan bantuan. Sehingga, mereka bisa mengetahui bagaimana harusnya bersikap kepada para orangtua karena pernah mengalami pengalaman yang serupa dan berada di posisi yang sama. Menurut saya, pemahaman tak melulu bisa didapat dengan mengandalkan pikiran yang abstrak dan berjarak, pengalaman subjektif yang penuh keterlibatan dengan realitas juga terkadang dibutuhkan untuk dapat memahami sesuatu (paham, bukan sekedar tahu). Namun, saya tak memungkiri bahwa mungkin memang ada jenis orang yang bisa merasa empati atau bisa memahami orang lain tanpa harus merasakan kesakitan atau berada di posisi yang sama lebih dulu. Nurani, kepekaan, serta kemampuan berimajinasi tipe orang ini tentulah sangat hebat.
Yang ketiga, menurut saya anak mungkin bisa berguna untuk membentuk karakter yang baik pada manusia dewasa. Karena ketika membesarkan anak, manusia itu dituntut untuk menjadi pribadi yang lemah lembut, peka, hati-hati, penyayang, perhatian, sabar, komunikatif, bertanggung jawab, dan mampu memberi teladan yang baik.
Yang keempat, menurut saya anak mungkin dapat menyederhanakan dan mencairkan pikiran manusia dewasa sehingga hidup manusia itu lebih menyenangkan, tidak rumit, dan tidak kaku. Ketika membesarkan anak, orangtua tentu dituntut untuk bisa menyederhanakan pengetahuan kompleksnya ke dalam bahasa yang sangat mudah dimengerti agar anaknya mengerti—mengingat pengetahuan tidak bisa diturunkan secara genetik.
Lalu, bagaimana dengan pasangan yang tidak dikaruniai anak terlepas dari faktor-faktor yang bisa diatasi dengan bantuan dokter, bayi tabung, surroget mother, atau pola hidup sehat? Sebut saja karena masing-masing dari pasangan tersebut memiliki gen Talasemia, kandungan anak memiliki golongan darah yang anti dengan golongan darah ibunya sehingga yang seharusya menjadi makanan malah menjadi racun bagi si kandungan, atau karena gen pasangan itu saling tidak cocok. Haruskah mereka mengadopsi anak atau menikah lagi untuk mendapatkan anak?
Seumpamanya hal itu menimpa saya, tentu saya takkan memaksakan diri atau pasangan tercinta saya untuk memiliki anak. Saya tidak memandang bahwa tujuan dan sumber kebahagiaan dari pernikahan itu adalah anak. Penderitaan dan kebahagiaan manusia, semua itu ditentukan oleh pikiran mereka masing-masing. Bahagia adalah perkara mensyukuri saja. Derita, adalah ketidakmampuan untuk itu. Lagipula, ada banyak sekali hal yang perlu diurus selain anak sendiri.
Buat saya, Bumi tak ubahnya tempat untuk membuat manusia bisa mengenal dan memiliki sifat yang mulia secara gradual dan berliku-liku. Dibuat seperti itu karena pelajaran yang cepat dan mudah didapat tentu akan gampang dilupakan pula oleh manusia. Bisa jadi salah satu ujian yang diberikan Tuhan untuk melatih manusia adalah dengan cara menitipkan anak. Namun, jika Tuhan menilai bahwa seseorang sudah memahami pelajaran dengan baik atau cara itu sekiranya tidak efektif untuk melatih, maka untuk apa pula Tuhan mengutus anak?
No comments:
Post a Comment