Sejujurnya saya ga begitu percaya pada perasaan suka sebelum menikah, apalagi yang menggebu-gebu (infatuation). Biasanya itu tiupan hawa nafsu dari setan.
Gak lama akan memudar dan hilang.
Selama-lamanya infatuation itu berapa lama sih?
Orang yang hanya bermodalkan infatuation untuk menjalani suatu hubungan, biasanya akan gagal karena dalam hubungan itu isinya ga melulu hal-hal yang menyenangkan dan bikin kita tetap suka dengan pasangan ketika menjalaninya.
Kalau infatuation sudah hilang dan honeymoon phase berakhir, orang yang hanya mengandalkan infatuation akan kehilangan satu-satunya alasan untuk melanjutkan hubungan. Dia akan cari partner baru lagi dan lagi (yang masih dia sukai karena belum saling mengenal dark side masing-masing dan belum mengalami masalah yang serius) untuk mengulang honeymoon phase yang menyenangkan. Dia akan kesulitan untuk melewati fase loop of doom apalagi ke tahap spiritual partnership untuk membina hubungan jangka panjang.
Unfortunately, many people mistaking love for infatuation, infatuation for love.
Saya menolak untuk memiliki ikatan apapun di luar pernikahan walaupun atas dasar suka sama suka, apalagi cuma infatuation.
Gak ada istilahnya jatah nakal, jatah mantan atau istilah sejenisnya.
Perasaan di luar pernikahan itu ujian.
Yang tidak dan belum halal adalah ujian.
Nikmati yang jadi hak aja, tau diri dan tau batas.
Segila apapun perasaan saya, paling mentok ya sebatas kata-kata saja.
Malas pacar-pacaran tuh, apalagi gonta-ganti pacar.
Saya gak mau pacaran, bukan berarti saya gak normal, gak jelas maunya apa, tukang PHP, mau keeping fans atau takut komitmen.
Hidup yang bermakna untuk dijalani adalah hidup sebagai manusia otentik.
Manusia otentik adalah manusia yang mampu menjadi khalifah bagi dirinya sendiri, bukan manusia dengan herd mentality yang pesimis dengan keadaan dan mengikuti arus kerumunan gitu aja demi sebuah penerimaan.
Mau semua orang menormalisasi pacaran, kumpul kebo, perselingkuhan, makan babi, minum miras, judi dan riba pake istilah-istilah keren kek, buat apa ikut-ikutan?
Sesuatu yang tidak diridhai olehNya, sebaiknya ditinggalkan saja, walaupun satu dunia melakukan hal tersebut.
Realitas sebagai hasil konstruksi sosial atau kebiasaan kolektif yang membudaya bukanlah suatu acuan yang perlu kita ikuti.
Kita bisa kok membentuk realitas kita sendiri, dan yang paling pantas kita jadikan acuan untuk menjadi (becoming) adalah manusia mulia yang paling baik akhlaknya.
Keyakinan kita sangat menentukan kehidupan kita.
Seringkali saya mendengar komentar sinis tentang cinta...
True love itu gak ada, kita ga hidup dalam dongeng. Gak usah muluk-muluk.
Itu adalah realitas yang diyakini oleh kerumunan dengan pengalaman suram dan pesimis pada keadaan, bukan representasi kenyataan seutuhnya.
Hal yang belum kita alami sendiri, belum tentu gak ada dan gak nyata.
True love does exist.
Realitanya banyak, kompilasi kisah-kisah nyatanya bisa kita baca di buku Robert Fulghum yang judulnya True Love.
True love dialami secara nyata oleh para pasangan berkomitmen yang punya keyakinan kuat dan mau berusaha untuk mewujudkannya.
Sebaliknya, true love gak masuk akal bagi orang-orang pesimis yang gak punya keyakinan akan hal itu.
Lah, yakin aja enggak, apalagi usaha untuk mewujudkannya bersama pasangan? Mustahil banget.
Love is an act of faith, and whoever is of little faith is also of little love, Erich Fromm.
Saya gak mau pacaran dan gonta-ganti pacar karena buat saya manusia bukan jajanan, bukan sepatu, bukan permen karet, bukan piala bergilir, bukan buruan, bukan koleksi, bukan pajangan.
Manusia bukan barang, bukan objek, bukan properti.
Manusia itu subjek moral, makhluk mulia. Khalifah dengan gambar dan citra-Nya.
Kalau merasa sudah siap untuk berkomitmen, cenderung nyaman satu sama lain, bisa kerjasama, bisa saling menerima sekaligus saling membangun dan sama-sama nyari ridhaNya ya lebih baik menikah.
To love somebody is not just a strong feeling
- it is a decision, it is a judgment, it is a promise. If love were only a feeling, there would be no basis for the promise to love each other forever. A feeling comes and it may go, Erich Fromm, The Art of Loving, 1956.
Senyambung-nyambungnya, secocok-cocoknya, sesuka-sukanya kita sama orang lain, ga mungkin jalannya mulus-mulus aja.
Dengan siapapun kita menjalin hubungan, akan ada yang namanya rasa bosan, ujian dan konflik yang bikin jengkel--tidak mungkin tidak, dan itu wajar adanya. Konflik bisa muncul kapan aja, di pernikahan siapapun. Bisa di awal, di tengah atau di akhir hubungan. Yang bagus dan berpotensi awet justru yang sering muncul di awal, karena pola hubungannya bisa jadi progresif.
Semakin sering kita berinteraksi, semakin dekat dan semakin real kita dengan orang lain, ujian dan konfliknya akan semakin banyak.
Proses penyatuan pasangan memang harus melewati konflik yang mengaduk batin, makin diaduk justru bisa makin nyatu, ibarat bikin telur dadar. Biar keduanya nyatu, harus ada proses benturan, penghancuran cangkang yang beda dan keras serta pencampuran isi yang hakekatnya sama.
Lovers don't finally meet somewhere, they're in each other all along. Your task is not to seek for love, but merely to seek and find all the barriers within yourself that you have built against it. Keep breaking your heart until it opens, Rumi.
Banyak konflik itu ga masalah, yang penting selalu berbaikan lagi dan kita jadi sama-sama semakin tau apa do's and don'ts untuk mengeratkan hubungan. Orang yang lebih dulu memaafkan dan meminta maaf adalah orang yang mulia akhlaknya--walaupun bukan dia yang salah. Yes, relationship over ego.
Tapi unconditional love bukan berarti unconditional tolerance. Love is unconditional but relationship is not. Kalau satu pihak aja yang berjuang terus-terusan untuk mempertahankan hubungan, diminta memahami, mengisi kekosongan si pasangan, ya hubungan itu gak sehat dan gak layak untuk dilanjutkan.
We need two hands to clap, Men.
Hubungan yang sehat itu saling memuliakan, ga ada yang superior atau inferior, dominan atau subordinat.
Seperti yang pernah saya singgung di post lama saya tentang friendship beberapa tahun silam, relasi yang paling saya sukai adalah persabahatan dan buat saya pernikahan adalah the highest state of friendship.
Hubungan yang sehat itu resiprokal, dari dua individu yang sama-sama independen dan utuh atas dasar kerelaan dari dalam. Bukan satu kosong satu utuh atau sama-sama kosong atas dasar keterpaksaan atau desakan dari luar. Mengisi kekosongan itu bukan tugas pasangan, ada atau gak ada pasangan kita tetap utuh. Hubungan yang sehat itu saling sharing dan seimbang, bukan untuk mengisi kekosongan. Gak seharusnya kita membebankan pasangan dengan apa yang menjadi tanggung jawab kita karena hidup gak bisa diwakilkan. It's your road, and yours alone. Others may walk it with you, but no one can walk it for you, Rumi.
Tanda-tanda orang yang utuh di antaranya adalah tenang, stabil dan merdeka.
Mereka ga caper sana sini, flexing ini itu, atau melakukan pembuktian apapun ke luar diri.
Mereka ga koleksi banyak mantan yang cakep-cakep untuk membuktikan bahwa mereka laku, mereka gak koleksi barang-barang branded untuk membuktikan bahwa mereka kaya dan berkelas, mereka ga gonta-ganti model baju dan hp high end untuk membuktikan bahwa mereka up-to-date dlsb.
Mereka tidak haus atensi, justru bisa memberikan atensi tanpa berekspektasi.
Mereka merdeka dari attachment, termasuk pada ekspektasi maupun rasa takut akan penilaian, penolakan, pengabaian ataupun kehilangan (fear of judgment, rejection, abandonment and losing).
Mereka bebas menentukan pilihan berdasarkan nurani, ga mudah patah apalagi larut dalam kesedihan karena ikhlas menjalani hidup Lillahi Ta'ala. Nothing to lose, nothing to worry about.
Kata Umar bin Khattab:
Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.
Saya belajar banyak dari mereka melalui metode penyangkalan untuk menjadi opposite mereka, saya juga studi kasus NPD dari berbagai penjuru dunia.
Dari studi dan pengalaman hidup saya, saya bisa bilang bahwa orang dengan Narcissistic Personality Disorder (NPD) bukanlah partner yang tepat untuk menjalin hubungan yang sehat, karena mereka memandang yang lain sebagai objek manipulasi/supply untuk mengisi kekosongan belaka. Bahkan, ada yang memandang pasangannya sebagai objek pemenuhan naluri biologis semata.
Narsisis pada dasarnya tidak mampu mencintai dirinya sendiri, apalagi orang lain sebagai individu. They need constant validation from others to feel valuable for a while entah itu berupa pengakuan, perhatian, sanjungan, rasa bangga atau kekaguman dari orang-orang. Dan sebaliknya, alergi kritik sebagai defense mechanism atas rasa insecure yang tersembunyi di balik ilusi kepemilikan atas kelebihannya. Nyinggung egonya dikit aja, siap-siap dapat pelecehan emosional berupa gaslighting, silent treatment, stonewalling or even worse than that. Dealing dengan mereka ibarat walking on eggshells. Padahal, bikin salah itu manusiawi dan manusia ga perlu menjadi sempurna untuk dihargai.
Hubungan dengan mereka cenderung one-way relationship, kecuali kita dikaruniai atribut yang bisa mengangkat status mereka di mata publik seperti kekayaan, kekuasaan, ketenaran atau gelar kehormatan yang bisa membuat mereka merasa layak untuk menghargai/dihargai lebih bila bersama kita. Atau, jika kita bisa memberi makan egonya secara konsisten. Meskipun sudah menikah selama puluhan tahun lamanya, menurut pengakuan para pasangannya, narsisis ini sulit untuk berubah dan diajak berkompromi karena terjebak dalam cermin diri yang menganggap bahwa dirinya spesial, superior, selalu benar dan memang begitu adanya. Narsisis cenderung fanatik, menjadikan dirinya sendiri sebagai pusat perhatian dan tolok ukur kebenaran. Yang eksis dan real adalah apa yang mereka rasakan dan alami sendiri, di luar itu gak penting, hanya dipandang sebagai objek yang bisa memberikan keuntungan/kerugian layaknya barang.
Adapun kurangnya empati dan kecenderungan untuk menonjolkan diri membuat mereka sulit untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan lawan bicaranya. Alih-alih menggunakan bahasa yang mendukung komunikasi dua arah secara berimbang dengan lawan bicara, narsisis cerebral lebih suka menggunakan hasil abstraksi yang telah dipoles sedemikian rupa untuk memperlihatkan kecerdasan, ketinggian ilmu dan kedalaman pengetahuan agar lawan bicaranya terpukau. Anehnya semakin sulit dipahami oleh orang lain, narsisis justru merasa hebat dan memandang remeh orang lain. Gitu aja gak ngerti, gitu aja ga ngerti-ngerti, kamu gak bakal sampe... Seakan-akan, IQ lawan bicaranya ini bukan jongkok lagi tapi tiarap sampe nyium tanah.
Padahal Einstein sendiri bilang If you can't explain it simply, you don't understand it well enough.
Kalau murid ga ngerti-ngerti, bisa jadi permasalahannya bukan terletak pada rendanya IQ murid, akan tetapi pada gurunya yang tidak kompeten dalam memahami dunia murid dan tidak kompeten dalam menguasai materi yang diampu sehingga tidak dapat mentransfer ilmu pengetahuan dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami oleh murid. Apalagi bila murid yang gagal paham itu persentasenya lebih dari 50% dari jumlah di kelas.
Sama halnya ketika berhubungan dengan orang lain. Kalau orang lain seringkali gagal memahami kita, bisa jadi permasalahannya bukan pada orang lain melainkan pada diri kita, pada kurangnya kecerdasan emosional (EQ) dan kemampuan kita untuk berkomunikasi dengan baik dan efektif.
Komunikasi efektif terjadi apabila pesan yang diberitahukan komunikator dapat diterima dengan baik atau sama oleh komunikan, sehingga tidak terjadi salah persepsi.
Alih-alih instrospeksi, mengakui kesalahan, meminta maaf dan memperbaiki diri... narsisis lebih suka bersikap defensif dan mencari pembenaran entah dengan proyeksi, introjeksi atau rasionalisasi. Sampai pada akhirnya para pasangannya ini mempertanyakan diri sendiri, ga tahan dan memilih give up.
Narsisis, walau sudah di-nol-kan ke rock bottom berkali-kali (diambil kembali hartanya, diambil kembali jabatannya, diambil kembali kesehatannya, diambil kembali waktu / masa mudanya, diambil kembali teman-temannya, diambil kembali keluarganya, diambil kembali supply potensialnya dll) belum tentu bisa berhenti merasa memiliki dan memandang yang lain sebagai subordinatnya. Ketika Tuhan sudah mengambil kembali milikNya, dan narsisis mengambil satu-satunya jalan yang tersisa yaitu jalan spiritual, narsisis masih bisa-bisanya melihat peluang untuk meninggikan diri.
Padahal, nabi saja tidak memandang dirinya istimewa dan berkedudukan lebih tinggi. Menjadi sombong adalah hal yang sangat tidak logis, karena pada hakikatnya kita ga punya apa-apa dan ga berkuasa atas apapun.
We don't even belong to ourselves.
Kemampuan (daya) untuk bergerak, mengindra, berpikir dan merasa pun sepenuhnya adalah karunia dariNya, bukan suatu hal yang kita upayakan atau ada-adakan.
Segala sesuatu milikNya dan segala puji hanya untukNya.
Riya berarti membesarkan ego dan mengecilkan kesaksianNya, sedangkan sombong berarti tidak mengakuiNya (kepemilikanNya, kuasaNya, kemurahan hatiNya dan hakNya untuk dipuji atas karunia yang Ia dititipkan kepada kita).
Saya setuju dengan Rumi yang berkata bahwa, di hadapan Tuhan, kita semua sama, kita semua pengemis dan peminta-minta.
Menahan diri untuk tidak riya dan sombong ketika diremehkan orang lain memang sulit tapi bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Harus kuat-kuat sabar.
Alih-alih melihat ke dalam, narsisis cenderung melihat ke luar untuk mengisi kekosongan diri, melupakan yang sejati untuk disadari dan senantiasa dirawat.
Padahal hal fana di luar diri hanya mampu memberikan sensasi yang fana pula, dikumpulkan sebanyak apapun dan digonta-ganti sampai kapanpun takkan mampu mengisi kerinduan pada yang sejati. Agar sampai pada puncak kebahagiaan, seseorang perlu melepas segala rasa kepemilikan/keterikatan/kemelekatan/ kecanduan/kelengketannya (attachment) pada yang fana.
You know you're winning when you're happy for no reason. When you don't attach your happiness to anything or anyone, you become free, Beau Taplin.
Menunggu narsisis untuk sadar dan berubah, bisa jadi penungguan sia-sia seumur hidup, apalagi jika mereka sudah hidup puluhan tahun bersama NPD-nya.
Bagi kita yang terikat hubungan darah atau takdir dengan narsisis, bisa kok tetap waras dengan banyak bersabar dan berdoa, anggap saja sebagai proses pendewasaan diri.
Ketika kita memilih bersabar ketimbang membenci, karena apapun labelnya mereka tetap makhluk ciptaan Tuhan juga, rasa cinta dalam diri kita akan tumbuh dan berkembang.
Membenci itu gak perlu usaha, mencintai itu perlu usaha. Mencintai Tuhan yang sempurna itu mudah, mencintai mahlukNya yang banyak kekurangan itu butuh cinta yang luar biasa. Dengan mencintai mereka, kita jadi bisa merasakan betapa cinta Tuhan terhadap hambanya itu tak terkira. Isn't it a good thing?
Kita bisa kok mengubah rasa benci di dalam hati kita menjadi cinta, misalnya dengan memberikan doa-doa yang baik, physical affection atau hadiah.
Menjaga perasaan cinta di dalam hati itu penting agar kita terhindar dari penyakit hati yang bisa menjalar menjadi penyakit tubuh. Kalau kata Rumi, If I love myself, I love you. If I love you, I love myself.
Jadi kalau ada orang yang menyebalkan, daripada mengotori hati dan menyakiti diri sendiri dengan membenci, lebih baik ikuti anjuran Nabi aja... karena batin yang tenang dan hati yang lega adalah harta yang paling layak dirawat, Reza Gunawan.
Well, hubungan yang adem-ayem pun bisa jadi malah ga sehat karena menyimpan banyak kepalsuan.
In short, hubungan yang sehat dan langgeng memang perlu dipelajari dan diusahakan oleh kedua belah pihak. Ada ilmunya dan usaha yang perlu dilakukan, perasaan yang sama dan kecocokan aja gak cukup. Ketika berkonflik yang penting adalah tetap jaga komunikasi secara asertif dan cari jalan tengah yang terbaik untuk kedua belah pihak. Jalan tengah yang terbaik bukan tentang inginnya si pasangan perempuan atau pasangan laki-laki gimana.
Nikah itu sendiri adalah proses penyatuan total dengan Tuhan, lebur jadi "Aku". Ga ada lagi tempat bagi dua ego.
Sudah bukan lagi tentang aku dan kamu, inginku dan inginmu apalagi tentang mereka yang mana semua itu sifatnya bias.
Samasekali bukan untuk nyari ridha manusia atau validasi eksternal (penilaian publik/gengsi) yang gak berdasar dan gak berujung.
Semua ini tentang Aku dan apa yang Aku ridhai yang sifatnya baik secara universal.
Nikah itu bukan tentang menyatu dengan pasangan aja, tapi keluarganya juga.
Keluarga pasangan ya keluarga kita juga, orangtuanya jadi orangtua kita juga.
Kita akan merasa berterima kasih pada orangtua pasangan yang selama ini sudah membesarkan dan mendidik pasangan kita, juga keluarga besarnya yang sudah banyak membantu.
Kalau pasangan jauh dari keluarganya, apalagi sama ibunya, kita hendaknya mengingatkan... Ben ora kepaten obor.
Kalau kita posesif sampai menjauhkan pasangan dari keluarganya, itu perlu dipertanyakan kita beneran cinta atau enggak. Yang beneran cinta, tanpa diminta akan berdedikasi ke keluarga pasangannya. Bukan sekedar pura-pura agar bisa diterima. Selama-lamanya pura-pura itu tahan berapa lama sih?
Lagipula, ladang amal terbaik kan keluarga, dan pihak laki-laki itu masih punya tanggung jawab sama keluarganya sampai mati, ga cuma ke anak istri. Jadi kalau mau bantu-bantu atau ngasih uang ke keluarganya ya itu emang kewajiban dia. Ngapain dihalang-halangi atau dilarang-larang? Asal, jangan sampe menumbalkan atau menelantarkan anak istri yang jadi prioritas.
Ada memang mertua toxic yang gak tau batasan. Terlalu ikut campur, ngatur-ngatur, suka mendzolimi mantu dan masih percaya pada mitos-mitos. Nah, yang begini daripada bikin pernikahan panas, retak dan runyam lebih baik tinggal di rumah terpisah. That's why istri punya hak atas rumah dan berhak memilih untuk ga serumah dengan mertua. Tapi setoxic-toxicnya mertua, tetap perlu kita kunjungi dan disewain pembantu untuk ngurusin kalau mampu. Walaupun menyebalkan, sekali keluarga tetap keluarga, ikatan itu takkan pernah putus.
Orangtua pada umumnya akan mengalami fase tua dan sakit-sakitan, nah... kita mau nggak peduli untuk bantu mengurus orangtua pasangan baik secara materi maupun non-materi selama bertahun-tahun?
Seminggu-dua minggu mungkin belum berasa beratnya, capeknya... Kalau sudah setiap hari, bertahun-tahun... domba pun bisa berubah menjadi singa.
Mengurus manula itu bukan main rasanya, tapi kita ga boleh menelantarkan mereka. Ada manula yang apapun dikomentari, apapun dikeluhkan, gak mau diurus oleh pembantu/perawat, kalau kemauannya gak dituruti tutup mulut saat disuapi, sudah susah-susah dicarikan barang yang diinginkan saat dikasih malah ditolak, diberitau galakan dia sambil mendelik dan melontarkan kata-kata yang menusuk hati, buang air di sembarang tempat dan gak mau pakai pampers, maunya jalan kemana-mana sendiri walau kaki sudah gemetar dan enggan pakai tongkat, minta ditemani sepanjang hari tapi gak tidur-tidur padahal kita capek dan perlu melakukan hal lain, ditinggal hitungan detik sudah hilang dan jatuh hingga benjol bahkan bocor kepala, waktu dimandikan sembur yang mandikan pakai air kumurnya, butuh banyak biaya untuk perawatan penyakitnya.
Bayi masih bisa ditinggal di keranjang bayi, manula gak bisa.
Kalau kita merasa keberatan, belum siap secara materi dan non-materi menanggung resiko-resiko itu, coba pikir-pikir lagi deh untuk nikah sama anaknya. Itu baru ujian dari orangtua loh, belum lagi dari anak.
Anak-anak itu umumnya sulit untuk diberi tau sekali. Kita ngasih tahu dia supaya jalan pelan-pelan, berkali-kali dalam sehari selama berbulan-bulan, belum tentu dia ingat atau mau dengar, terutama di fase awal kehidupannya. Ribuan nasihat dan pelajaran diabaikan, hanya dianggap sepintas angin lalu. Orang ngomong apa ya mereka ga ngerti, ga relate, karena kesadaran itu menubuh (embodied) dan keterlibatannya dengan dunia masih sedikit, pengetahuan baik melalui pengalaman langsung atau pendidikan masih sedikit. Mereka ga ngerti jatuh itu apa, sakit itu apa. Mereka aja ga ngerti makna ini itu, apalagi mampu berpikir panjang. Sambungan-sambungan di otaknya belum terhubung karena perkembangan otaknya belum sempurna, sehingga belum bisa bernalar dan mengerti hukum sebab-akibat. Mereka masih lengket dengan orangtua yang selalu provide dan protect, sehingga cuma tau enak dan belum ngerti konsekuensi.
Kalau belum merasakan akibat buruk dari tindakannya sendiri ya ga percaya-percaya dan ga sadar-sadar bahwa tindakan itu beneran buruk seperti yang dikasih tau oleh orang dewasa. Tapi masa iya harus bocor kepala dulu untuk menyadari bahwa jalan pelan-pelan itu penting? Harus kena penyakit ginjal dulu untuk menyadari bahwa minum cukup air itu penting? Harus kena diare dulu untuk menyadari pentingnya jaga kebersihan?
Harus mati dulu untuk percaya bahwa Baygon itu beracun?
Anak kecil melakukan kesalahan itu masih bisa dimaklumi kalau mereka belum ada yang kasih tau (didik) dan belum bisa membedakan benar salah pake nalarnya, let's say masih di tahap sensorimotor dan praoperasional. Beda halnya kalau mereka sudah dididik, sudah bisa bedakan benar salah, tapi tetap melakukan kesalahan dengan sengaja dan malah mencari-cari alasan untuk membenarkan kesalahannya.
Gak sedikit orang yang sudah berumur tapi masih infantil dan keras seperti itu. Sudah tau konsekuensi dan diingatkan dengan cara apapun, malah berdalih dan adu argumentasi untuk mempertahankan kebiasaan buruknya. Kalau konsekuensi yang dirasakannya belum parah banget, ya gitu-gitu terus.
Otak, hati, mata dan telinga yang di luar memang masih berfungsi dengan baik, tapi yang di dalam mati atau terkunci. Di Al Qur'an sering dibahas tipe begini, tipe yang pada akhirnya dikasih azab berat karena cenderung abai bahkan mendustakan peringatan-peringatan dan nasehat-nasehat yang datang dari para utusanNya yang sudah begitu peduli dan tidak mengharapkan imbalan apapun. Boro-boro bersyukur karena dihadiahi petunjuk supaya hidup selamat dan bahagia olehNya, yang ada malah mengusir, menganiaya bahkan tega membunuh para utusanNya itu dengan kejam. Mereka mengikuti apa yang mau mereka ikuti saja berdasarkan nafsu, prasangka-prasangka dan tradisi leluhur/nenek moyang yang belum mencapai pencerahan/kesadaran agung.
Banyak orang-orang di akhir zaman ini yang sak kerepe dewe dan tidak mau mengambil pelajaran dari orang-orang terdahulu, mereka menggunakan free will untuk mengulang sejarah/pengalaman orang-orang yang celaka dan dimurkai olehNya. Sesungguhnya nafsu itu membutakan akal, sementara hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah), QS Al-Baqarah: 269.
Di zaman ini banyak pemuja kebebasan yang tidak punya pegangan apapun, yang diperturutkan hanyalah nafsu, nafsu dan nafsu. Freud bilangnya drive yang berasal dari insting hidup (eros) dan insting mati (thanatos).
Hari ini akses untuk memuaskan berbagai macam nafsu semakin dipermudah dan dipercepat. Mau apa-apa tinggal pilih dan klik, ga perlu repot dan nunggu lama. Belum lagi iklannya yang gencar-gencaran dan dikemas sedemikian indah dan menarik dengan teknik manipulasi yang bisa mempengaruhi alam bawah sadar para targetnya supaya terhipnotis dan sulit menolak. Tanpa dipaksa, mangsa menghibahkan dirinya pada predator.
Pilihan membentang luas, dunia dalam genggaman dengan adanya bantuan teknologi.
Mau akses kendaraan, kredit, game, tiket ini itu, jasa ini itu, hotel, makanan, pornografi, alat manipulasi cuaca, rudal dslb semuanya mudah selama ada jaringan internet.
Internet bisa mengetahui dan menjangkau hampir setiap wilayah bahkan gang-gang sekalipun dengan kecepatan cahaya.
Apa-apa butuh internet. Berasa banget, kan? Apalagi saat masa pandemi, orang-orang dibikin setergantungan itu sama internet, terutama yang hidup di daerah perkotaan. Peran Tuhan seakan-akan sudah digantikan oleh internet. Sulit melepaskan diri dari ketergantungan kita pada internet sebelum adanya badai matahari atau semacamnya.
Internet pun memfasilitasi para perempuan yang pada dasarnya suka diperhatikan dan bersolek untuk menebarkan pesonanya ke luar rumah (seluruh dunia).
Sementara laki-laki yang pada dasarnya menyukai keindahan perempuan dan sulit menahan godaan semakin dibesarkan ego dan nafsunya, bekerja demi kesombongan diri dan memikat hati para perempuan akhir zaman yang sedap dipandang dan mudah diperdaya karena jahil dalam urusan agama. Orang-orang ramai menjual bahkan mengobral diri dengan mengekspos pesonanya agar laku di pasaran zaman edan, fenomena itu bisa kita saksikan sendiri di Twitter, FB, IG, Tiktok dlsb yang mana membuka pintu perzinahan dan penyakit ain lebar-lebar. Dengan adanya internet, orang-orang makin terlena dengan jerat kemudahan dan kenikmatan yang semakin menjauhkan mereka dari yang sejati. Mereka lebih mencintai yang enak-enak, yang indah-indah, yang instan-instan walaupun palsu dan menjerumuskan mereka ke neraka, ketimbang memenuhi janji pada yang sejati. Manusia semakin terlena dengan dunia dan takut mati. Iman ditinggalkan, padahal dunia tak lebih dari seorang wanita tua yang berhias. Kenikmatan akhir zaman membuat manusia melupakan janjinya pada Tuhan. Alih-alih merasa malu dan berdosa, manusia akhir zaman malah bangga melakukan dosa di hadapan Tuhan yang Maha Melihat.
Jumlah manusia banyak namun tak ubahnya buih di lautan, yang hadir sesaat dan lekas hilang tanpa meninggalkan bekas yang berarti.
Jangankan kitab suci, berbagai informasi yang didasarkan oleh ilmu pengetahuan yang valid pun diabaikan, karena hati sudah mengeras dan akal sudah tertutup oleh nafsu yang senantiasa dituruti dengan mudahnya setiap hari sehingga sulit untuk dikendalikan. Hal ini berlaku untuk banyak hal. Kasus sederhana, misalnya tentang rokok. Orang sulit berpikir objektif bahkan denial tentang fakta rokok karena setiap hari menuruti nafsu untuk menikmatinya. Semakin lama merokok, semakin sulit pula mengendalikan nafsu untuk tidak merokok.
Segala peringatan besar-besar dengan gambar dan resiko-resiko penyakit yang menyeramkan, gejala-gejala penyakit yang muncul seperti batuk yang sering dan nafas yang memendek, serta berbagai nasihat dari halus sampai keras ditepis semua dengan berbagai alasan demi memuaskan nafsu untuk terus merokok... Ga usah dikasih tau juga udah tau, ga merokok juga pasti mati, mati itu di tangan Tuhan, kamu ga merokok juga ga kebeli mobil, sakit itu masalah pikiran aja, kamu kebanyakan teori, ada kok perokok yang hidup sampai tua, kamu kan ga pernah ngerasain gimana enaknya merokok, gula itu lebih mematikan daripada rokok, rokok itu ngasih sponsor yang besar lho, ini tuh cuma herbal, ini bisa ngurangin stress dan bantu mikir dlsb.
Kalau kata Mark Twain, never argue with stupid people, they will drag you down to their level and then beat you with experience. Selwyn Duke pun bilang, the further a society drifts from the truth, the more it will hate those that speak it.
Intinya, kita cuma akan debat kusir dan dibenci oleh mereka.
Mereka bukannya gak tahu kebenaran, tapi sengaja menutup matanya. Mereka condong untuk membantah, mengelak, menepis, mengabaikan segala peringatan yang efek buruknya belum mereka rasakan sendiri. Kalaupun sudah merasakan akibat buruk itu dan mereka dikembalikan pada keadaan/kejadian semula, belum tentu mereka berubah. Kalau hati sudah keras, walaupun dikasih peringatan dan usia ribuan tahun gak ada gunanya.
Ada memang tipe manusia yang cenderung sulit untuk menghargai sesuatu sebelum sesuatu itu rusak permanen atau hilang untuk selamanya. Mereka baru akan menyadari betapa berharganya kasih sayang Tuhan yang mereka lewatkan dalam penyesalan.
Nauzubillah min dzalik.
Semoga kita tidak menjadi salah satunya.
Tuhan itu Maha Penyayang, walaupun kita sering membuat kesalahan, kita masih diberiNya berbagai peringatan dan kesempatan untuk menyadari kesalahan dan memperbaiki diri. Kalau Tuhan tidak demikian, sekali bikin kesalahan sudah tentu dicabutlah nyawa kita. Selama kita masih hidup, itu artinya Tuhan masih memberikan kita kesempatan untuk terus-menerus memperbaiki diri dan berbuat kebaikan. We shouldn't take it for granted.
Perihal anak ga mau dengarin nasihat itu baru satu kasus sederhana, belum lagi yang lain.
Selama 7 tahun saya mendidik dan mengajar anak-anak, ujiannya itu macem-macem, apalagi dari anak-anak dengan kebutuhan khusus (ABK) seperti anak dengan spektrum autisme, ADHD dan berbagai personality disorder lainnya. Ngadepin mereka tantrum dan bikin masalah sekali-dua kali itu gak berasa, setiap hari berkali-kali baru berasa. Kalau kesabaran kita masih setipis tisu dibelah dua, resikonya bisa terjangkit berbagai penyakit atau lepas kendali dan menjadi abusive baik secara verbal maupun non-verbal. Bahkan, bisa lebih buruk daripada itu.
Kalau kita belum punya anger/rage management yang baik, coba pikir-pikir lagi deh untuk buru-buru punya anak. Kalau gak, kasihan diri sendiri dan si anak bisa jadi korban. Kita ga bisa sembarang perlakukan anak. Pengalaman di fase anak-anak, termasuk trauma-trauma yang pernah dia terima itu akan tertanam kuat di dalam memorinya, sangat mempengaruhi kehidupannya nanti di fase dewasa.
Kadang, kita sebagai orangtua juga diharuskan untuk sering mengalah demi anak yang suatu saat akan pergi untuk tinggal bersama orang lain.
Mau tidur, harus bedagang dan bersihin kotorannya. Mau jalan-jalan, perlu biaya ini itu untuk mengurus berbagai keperluannya. Belum lagi harus mengurusnya ketika sakit.
Tanggung jawab sebagai orangtua itu gak main-main, ada ilmu parenting yang perlu kita pelajari dan terapkan dalam membesarkan dan mendidik anak kita sejak dalam kandungan hingga ia mandiri. Akan tetapi, sebaik apapun pola asuh kita, dia tetap punya free will untuk melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang kita tanamkan. Tuhan juga bisa mengambil apa yang Ia titipkan kapanpun. Jadi sebaiknya, tidak perlu berekspektasi apa-apa kepada anak.
Ujian pernikahan itu gak kaleng-kaleng dan hal itu akan berlangsung seumur hidup. Coba pikirin seburuk-buruknya kemungkinan, separah-parahnya keadaan. Misalkan semua harta pasangan ludes, dia jadi cacat/sakit parah/mandul, terpaksa tinggal serumah bersama orangtuanya yang sakit-sakitan dan butuh biaya besar, anak kita genetiknya seperti dia dll.
Kalau masih mau sama dia, itu namanya beneran cinta. Tuhan memerintahkan hati kita buat mencintai dia. Tapi dianya juga harus bisa diajak kerjasama, sama-sama hidup demi keridhaanNya dan menjadikan manusia mulia sebagai teladannya, kalau gak ya berat. Pasangan yang menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladannya, akan tau bagaimana seharusnya bersikap dengan baik terhadap keluarganya.
Kalau saya gak beneran cinta sama seseorang, ngapain saya repot-repot menikah dan menambah masalah pasangan dan keluarganya ke hidup saya? Ngapain saya mau repot-repot nanggung resiko kehamilan dan melahirkan yang menyiksa dengan taruhan nyawa saya sendiri?
Kalau cuma mengandalkan logika, pemikiran rasional, kalkulasi... dan bukan karena cinta dariNya, gak akan mau saya menikah.
Dibayar pakai seisi dunia juga saya gak mau.
Ada yang bilang bahwa cinta itu ilusi dan gak penting. Lucu, padahal eksistensi kita sendiri dan segala yang ada di semesta ini apalagi kalau bukan manifestasi cinta dari Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang?
Semua yang fisik adalah manifestasi dari yang non-fisik.
Tanpa cinta, kita dan semua ini gak mungkin eksis. Wong Tuhan ga butuh siapapun dan apapun. Mau menetapkan sesuatu tinggal bilang "jadilah", maka jadilah. Segala kebaikan yang kita lakukan untukNya aja Dia kembalikan lagi semuanya ke kita dengan balasan yang berlipat-lipat. Kita diizinkan ke surgaNya jelas bukan karena amalan kita yang gak seberapa. Cinta meliputi segalanya. Orang yang mencari bukti untuk percaya adanya cinta, sama lucunya dengan setetes air di samudra yang mencari air dimana. Your task is not to seek for love, but merely to seek and find all the barriers within yourself that you have built against it, Rumi.
Cinta sejati berasal dari yang tidak berawal dan tidak berakhir, untuk yang tidak berawal dan tidak berakhir pula. Cinta sejati adalah cinta dariNya dan untukNya yang abadi. Tuhan mencintai kita, kita pun melakukan segala ibadah suci (termasuk pernikahan) untukNya harus dengan cinta dong?
Saya sepemikiran dengan Rumi yang berkata bahwa tanpa cinta, hidup dan semua ibadah hanyalah beban tanpa keindahan.
Tanpa adanya cinta di dalam hati, kita takkan mampu memahami dan merasakan keindahan cinta dari siapapun... apalagi, mencintai yang lain dengan indah. Wherever you are, and whatever you do, be in love, Rumi.
Kita bukan lagi anak kecil yang beribadah atas dasar iming-iming ataupun rasa takut akan hukuman, reward and punishment. Orang merdeka, beribadah atas dasar cinta tanpa melupakan syariat. Cinta tanpa syariat, ngawur. Syariat tanpa cinta, keras. Kita wajib memahami hukum dan aturan tentang pernikahan sebelum menikah, dari cara memilih pasangan hingga hak dan kewajiban sebagai istri/suami agar kita punya kompas dan ga tersesat. Misal kita mau nikah, kita beneran cinta nih sama ini orang... tapi secara agama itu orang punya sifat-sifat yang dilarang untuk dinikahi (misalkan musyrik, meninggalkan shalat, tempramental, bersikap kasar, tidak berpenghasilan/berpenghasilan haram, tidak bisa menjaga pergaulan, suka melakukan hal yang tidak bermanfaat seperti merokok dan minum alkohol, pelit, cuek, suka berdusta dan suka melirik laki-laki/wanita lain atau mata ke ranjang), ya jangan atuh. Semua ini tentang Aku dan apa yang Aku ridhai. Bohong kalau kita bilang kita nikah untuk mencari ridhaNya sementara kita aja milih calon sembarangan, bukan berdasarkan petunjukNya, bukan calon yang diridhai olehNya. Tuhan itu mencintai hambaNya dan tau apa yang terbaik bagi hambaNya, jadi sebaiknya kita mengikuti petunjukNya. Kalau akhlak kita juga masih bobrok tapi ingin buru-buru menikah itu namanya juga kita gak sadar diri.
Nikah itu bukan perkara ingin atau umur, tapi siap atau enggak. Sudah ingin dan berumur tapi tidak mempersiapkan diri secara materi dan non-materi itu konyol namanya. Bisa-bisa pernikahan baru seumur jagung sudah cerai.
Kasus perceraian di Indonesia itu terbilang tinggi lho, bahkan di tahun 2022 tercatat 516.334 kasus perceraian, naik 15.31% dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 447.744 kasus. Penyebab utamanya adalah ketidaksiapan non-materi (emosional, psikologis, spiritual, ilmu dll) yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus. Penyebab keduanya adalah ketidaksiapan materi (ekonomi sulit).
Kalau kita masih menyimpan luka, harapan atau kenangan dalam bentuk apapun (foto, cincin, baju dll) yang berkaitan dengan orang-orang di masa lalu itu juga tandanya kita belum siap secara non-materi. Hendaknya kita bereskan dulu segala urusan di masa lalu, kelarin dulu sampai setuntas-tuntasnya, ke akar-akarnya. Menutup semua hubungan dengan orang-orang di masa lalu secara tegas adalah penting agar pernikahan kita dengan orang baru selamat dari godaan dan gangguan mereka di masa depan. Jika kita pernah menyakiti mereka baik secara sengaja maupun tidak, alangkah baiknya bila kita meminta maaf. Berdamai dengan masa lalu akan membantu pasangan kita merasa lebih secure. Kalau pasangan kita merasa insecure, bisa jadi pemicunya adalah kita. Kitanya yang belum move on dan gak bisa jaga diri sehingga sulit untuk dipercaya. Kalau kitanya gak aneh-aneh dan punya integritas, pasangan juga ga akan bertanya-tanya, was-was, cemas, curiga atau cemburu berlebihan.
Ada aksi, ada reaksi. Mau pasangan secure ya kitanya juga harus trustworthy.
Memperbaiki akhlak adalah salah satu upaya untuk mempersiapkan diri secara non-materi. Secakep2nya sepinter2nya sekaya2nya seningrat2nya kita... Kalau akhlak kita bobrok, gak ada artinya. Kita hanya akan membuat pasangan kita merasa jengkel, ga nyaman bahkan tersakiti.
Nah, memperbaiki akhlak yang buruk itu sulit karena seringkali kita terjebak dalam spiritual ego. Merasa sebagai orang pilihan, merasa punya bakat/kemampuan spiritual khusus, merasa tau kalau tau, merasa sudah baik, merasa sudah dekat dengan Tuhan, merasa sudah di high frequency dlsb. Padahal jika merasa "sudah", itu justru tandanya belum.
Malah, hal itu bisa menandakan bahwa kita terjebak dalam spiritual narcissism. Kalau kata Mas Mamad, tanda-tanda orang yang terjebak dalam spiritual ego diantaranya ya itu:
1. Menilai orang lain kurang terjaga/bangun.
2. Kurangnya kesadaran diri.
3. Menggunakan spiritualitas sebagai pembenaran.
4. Menghakimi orang lain memiliki aura negatif karena energinya merasa terkuras.
5. Memakai topeng positif setiap saat.
6. Memamerkan seberapa spiritual diri di media sosial dan masih banyak lagi.
Kita yang sesungguhnya ada di hati, dan yang bisa nilai bagaimana kualitas batin di dalamnya (niat, iman, takwa, tauhid, zuhud, qana'ah, cinta dll) dengan sebenar-benarnya, semurni-murninya, seutuh-utuhnya hanya satu: Yang Maha Tahu. Hanya Dia yang gak punya kepentingan, berdiri sendiri, selalu mengawasi dan menyaksikan segalanya dengan sempurna tanpa meluputkan sesuatu. Bukan kita ngaku-ngaku, ngeklaim sendiri bahkan bisa dengan mudahnya judge orang lain itu gimana dengan penilaian kita yang bias dan sangat terbatas pada fenomena-fenomena yang nampak pada ruang dan waktu tertentu saja. Orang yang pandangan batinnya (bashirah) terbuka bukanlah orang-orang sembarangan yang masih doyan konten-konten haram seperti video panas, game panas, komik mesum, aurat orang, film ilegal, website ilegal, buku bajakan, biarin maksiat/kemungkaran depan mata dll yang ga bener-bener. Yang dikonsumsinya setiap hari adalah yang suci-suci, yang legal-legal, yang baik-baik. Halalan thayyiban. Apakah kita sudah benar-benar menjaga kesucian diri kita? Bisa jadi yang kita kira sebagai kebenaran dari Tuhan hanyalah prasangka-prasangka kita aja. Saya pernah tes orang yang ngaku-ngaku punya mata batin tajem, hasilnya ZONK. Komentar iseng, suka main percaya aja bahkan diambil hati dan dibahas dengan serius. OMG.
Apa yang kita kira sebagai pengetahuan langsung yang disinari olehNya, bisa jadi hanyalah kesoktahuan kita aja.
Hal sederhana banget deh.
Ada orang ngegombal dan ngebucinin kita selama berbulan-bulan, bahkan udah ngenalin diri ke orangtua, bantu ini itu, nemenin ke sana ke sini, ngasih ini itu sampai cincin palsu yang murahan sebagai tanda jadi, kita kira dia tulus dan serius... Padahal dalam hatinya cuma niat tidur gratis, karena tidur seranjang tanpa embel-embel cinta adalah pemerkosaan. Begitu bosan atau si objek manipulasi sadar telah diperdaya dengan teknik love bombing, si predator cari gara-gara deh biar diputusin dan cari mangsa baru.
Adalagi yang tampil relijius, ga pernah neko-neko bahkan menundukkan pandangan saat bertemu kita, tapi di belakang kita gemar menikmati aurat para perempuan di sosmed dengan sengaja pake second account, bahkan sering ngajak mereka ke hotel bareng. Solat iya, puasa iya, tapi kebiasaan menuruti syahwat yang membutakan mata hati dan merusak kejernihan pikiran jalan terus. Dia nyaman-nyaman aja bermaksiat karena dipikirnya para korbannya juga ga bakal mempermalukan diri sendiri dengan blow up kasusnya ke publik, lagipula Tuhan Maha Pemaaf dan Maha Pengampun ini... Setelah zina ya tinggal tobat, gitu aja polanya. Selama masih solat dia merasa aman-aman aja, padahal apa artinya solat kalau ga mencegah dari perbuatan keji dan munkar? Pertanyaannya, apakah solatnya selama ini bener atau cuma asal solat aja?
Kita pikir dia pandai jaga diri, ga taunya zonk.
Tuhan aja disepelein, apalagi kita?
Seringkali kita menyepelekan Tuhan karena Tuhan penuh kasih sayang, tapi seringkali kita juga lupa bahwa bentuk kasih sayang Tuhan bisa turun dalam bentuk siksaan yang keras, supaya kita benar-benar bertobat dan berhenti melakukan kesalahan yang sama.
Manusia bertopeng itu banyak dan manusia bertopeng kebaikan adalah tipe yang paling buruk dan berbahaya, tapi orang yang membeberkan aibnya sendiri di muka umum sehingga berpotensi ditiru oleh orang lain supaya tidak dinilai munafik juga ga lebih mulia. Ada manusia yang hidup dengan topeng walaupun sudah menikah sekian lama, pasangannya gak tau bagaimana wajah asli manusia ini walaupun sudah tinggal bersama setiap hari seolah tanpa privacy.
Apa-apa ga di-password, sering cerita banyak hal... Itu semua gak menjamin bahwa dia gak punya dark secrets yang mengerikan.
Orang pendiam dan tertutup juga belum tentu orang yang insecure, punya trauma atau banyak dark secrets yang disembunyikan, bisa jadi dia lurus dan baik-baik aja... Cuma orangnya memang ga suka ngomongin sesuatu yang ga perlu, ga berfaedah. Kalau ga diam, ya ngelawak atau ngomong sesuatu yang baik.
Orang yang kelihatan berandal juga belum tentu busuk sampai ke akar-akarnya, bisa jadi dia cuma ikut-ikutan nakal biar dibilang keren dan gak dianggap cupu sama tongkrongannya, padahal hatinya nolak. Relasi dia dan tongkrongan bobroknya ibarat mutiara dalam kubangan lumpur.
Seringkali yang kita yakini sebagai kenyataan, ternyata hanyalah asumsi-asumsi kita sendiri.
Penilaian kita belum tentu sama dengan kenyataan, apalagi penilaianNya.
Baik dalam pandangan kita, belum tentu baik dalam pandanganNya. Buruk dalam pandangan kita, belum tentu buruk dalam pandanganNya. Apalagi soal dimensi batin manusia.
Di mata kita bisa jadi orang yang ngasih kebebasan dan dukungan penuh ke pasangannya itu baik, toleran dan memahami kita... Sementara yang suka menegur itu kebalikannya. Padahal, ga selalu begitu. Ada baik/buruk yang sifatnya saklek, ada juga baik/buruk yang sifatnya relatif tergantung konteks.
Kalau pasangan melakukan hal-hal yang jelas baik untuk mencari keridhaanNya, walaupun jalannya terjal dan berliku-liku, dia patut kita dukung sepenuhnya.
Sementara kalau kita mendukung pasangan untuk melakukan hal-hal menyenangkan yang jelas-jelas dilarang dan dibenci olehNya (dengan alasan hidup cuma sekali, yang penting dia happy, dia ga merugikan siapa-siapa, mau jaga perasaannya, semua orang juga begitu, ga ada yang luput dari dosa, nanti bisa tobat dll), justru kita adalah pasangan yang buruk karena itu menandakan bahwa kita gak benar-benar peduli. Mati kan bisa kapan aja, gak nunggu tobat. Lagipula, kebiasaan melakukan hal-hal buruk itu bisa mengeraskan hati. Semakin sering kita melakukannya, semakin keras hati kita. Lama kelamaan ketika kita melakukan keburukan-keburukan yang serius rasanya akan biasa aja, seakan-akan gak ada yang salah, bahkan kita malah merasa bangga dan keren bisa melakukan hal tersebut. Entah itu berhasil menang judi, nyobain whiskey termahal, one night stand sama artis idola, nge-hack dan ngerampok data/uang dlsb.
Kalau sudah begini, bisa-bisa kita dicuekin sama Tuhan, ketika bikin salah wes dibiarkan wae. Bahkan karir melonjak, duit makin banyak, relasi meluas, kesehatan makin prima, urusan dipermudah dll.
Semua orang bisa salah, gak terkecuali para guru, filsuf, pemimpin dan pemuka agama.
Sebelum kita marah setelah ditegur, hendaknya kita juga sadar diri.
Kita seringkali bias dalam menilai diri sendiri.
Cara halus juga ga selalu efektif untuk setiap keadaan dan setiap orang, kadang tough love itu diperlukan. It's still love anyway.
Sahabat yang suka marahin kita belum tentu sahabat yang sakit jiwa atau punya anger issue, bisa jadi memang kitanya yang ga peka dan ga mau dengar kalau ga dimarahin.
Kitanya yang ndhendheng alias dableg.
Justru sahabat yang berani menegur adalah sahabat yang benar-benar peduli. Logika aja, kalau ga peduli banget, buat apa mereka buang-buang waktu dan energi buat negur-negur segala? Ada banyak hal yang lebih menarik untuk diurusin, gitu.
Sahabat yang seperti itu jauh lebih berharga daripada milyaran orang yang diam aja bahkan memaklumi dan mendukung kesalahan kita demi menjaga perasaan kita. Mereka adalah sahabat yang mencintai kita karena Allah, dan persahabatan kita dengan mereka akan abadi.
Saya gak muluk-muluk atau berkhayal soal konsep persahabatan yang abadi, tapi percaya dengan firman dan janji-janjiNya yang selalu benar. Saya percaya bahwa suatu saat nanti, orang-orang yang saling mencintai karenaNya akan dipertemukan kembali di bawah naunganNya dalam kehidupan yang kekal.
Benar kata Ketan Tiwari, be teachable, you're not always right.
Selama hidup, ujian kita belum selesai, identitas kita belum final (becoming).
Terlalu gegabah rasanya untuk mengklaim bahwa diri sendiri sudah baik, lebih baik apalagi paling baik.
Syaitan ga akan berhenti menjerumuskan manusia sampai manusia kehabisan waktu untuk memilih dan memperbaiki diri. Ujian kita sebagai orang yang berkutat di ranah ilmu atau spiritual ya itu, maksiat batin.
Bangga dengan jubah keilmuan atau kealiman, bangga dengan amal baik kita.
Semoga kita semua dilindungi dari merasa lebih baik, lebih tercerahkan, lebih sadar, lebih suci, lebih mulia, lebih tinggi frekuensinya, lebih rendah hati dan lebih-lebih lainnya dari orang lain. Hendaknya kita senantiasa mengingat ucapan Ali bin Abi Thalib... dosa yang membuatmu sedih dan menyesal lebih disukai oleh Allah daripada amalan baik yang membuatmu menyombongkan diri. Syeik Hamza Yusuf pun mengingatkan kita hal yang serupa, a mistake that makes you humble is better than an achievement that makes you arrogant.
Ada spiritualis yang terjebak dalam spiritual ego. Merasa sudah di high frequency, sudah mencapai pencerahan tertinggi. Dan seolah-olah, orang yang sudah di high frequency itu pantang turun ke bawah dan merasakan low frequency lagi. Sedihnya, orang-orang yang menganggap dirinya sudah di high frequency ini cenderung menilai bahwa mereka yang di frekuensi bawah itu adalah vampire energy yang belum sadar atau belum terbangun, cuma bikin energi terkuras dan baiknya dihindari.
Manusia yang punya pemikiran begini ga punya empati dan kesetiaan. Kalau pasangannya sakit atau galau, boro-boro mau peduli apalagi sudi menemani. Yang ada malah ninggal pasangannya buat nongkrong sama teman-temannya supaya tetap di high frequency, tetap damai dan happy tanpa beban pikiran maupun perasaan. Banyak kan tuh orang-orang yang ke temen-temennya setia, royal dan pengertian. Tapi giliran ke pasangannya sendiri malah sebaliknya. Banyak pasangan yang lari dari pernikahan saat mengalami keadaan-keadaan yang sulit bersama pasangannya. Pergi gitu aja, tanpa omongan. Bukannya bersabar atau coba menyelesaikan masalah secara dewasa. Apalagi di kampung-kampung, termasuk kampung ibu saya. Saya sudah baca datanya dan pernah survey sendiri. Padahal janji pernikahan adalah tetap bersama apapun keadaannya, apapun frekuensinya, baik senang maupun susah, baik suka maupun duka.
Padahal, dalam agama juga kita diminta untuk menolong para saudara kita yang lemah, yang kesulitan, yang bersedih hati, yang tertimpa musibah, yang kebingungan dll yang ada di frekuensi bawah dengan ikhlas dan sabar.
Ketika melihat begitu banyak fitnah, kekacauan dan kemungkaran yang membuat para saudara kita mengalami kesulitan, bagaimana mungkin kita bisa bersikap tak acuh? Memilih menjadi fatalistik dengan bersikap pasrah membiarkan semua kehancuran terjadi di depan mata bukanlah hal yang dianjurkan oleh nabi. Meskipun dunia ditakdirkan untuk hancur sesaat lagi, kita diminta untuk tetap menanam kebaikan. Urip iku urup. If everything around seems dark, look again, you may be the light, Rumi.
Kita diperintahkan untuk menjadi perpanjangan tanganNya dengan cara bersedekah harta, berbagi ilmu, menghibur, melawan penguasa yang dzholim atau apalah yang bisa membuat orang merasa lebih baik dengan keadaannya. We're blessed to be a blessing to others. Bukannya cari selamat sendiri dan menghakimi orang lain tanpa hati, tanpa mau tau apa yang sebenarnya terjadi di balik apa yang mereka rasakan. Kalau tau latar belakang masalahnya, siapa tau kita bisa bantu carikan solusi supaya mereka ga berlarut-larut dalam masalah yang membuat mereka down. Makin dekat dengan Tuhan, bukannya orang itu akan makin baik dengan makhlukNya, ya? You cannot treat people like garbage and worship God at the same time, NN.
Saya setuju dengan pemikiran spiritualis yang kritis seperti Reza Gunawan, yang ga menelan teori ini itu secara mentah-mentah tapi pake akal dan empati. Beliau berpendapat bahwa semua emosi itu berguna dalam porsi dan situasi tertentu. Yang penting adalah tidak lengket, tidak dikuasai dan berlarut-larut dalam emosi tersebut. Rasa malu dan berdosa misalnya, dua frekuensi terbawah... kalau kita ga bisa merasakan ini, kita bisa sak karepe dewe.
Justru rasa malu yang dikategorikan sebagai frekuensi terendah itu adalah ciri khas orang yang mendapat pencerahan, salah satu dari cabang keimanan. Dia punya rem. Ojo adigang, adigung, adiguna.
Saya setuju dengan filsafat Meng Zi yang berpendapat bahwa rasa malu dan berdosa jangan sampai mati. Jika rasa malu dan berdosa kita mati, maka kemanusiaan kita juga akan mati. Kita dengan santainya akan menyakiti orang lain.
Belajar dan memperbaiki diri adalah pekerjaan sepanjang hayat, gak ada habisnya.
Kalau kita merasa sudah, kita akan berhenti dan mengeras, jadinya kaku serta fanatik. Tumpul ke dalam, tajam ke luar.
Lebih mudah menyalahkan daripada introspeksi.
Lebih mudah menasihati daripada menjalankan nasihat.
Lebih mudah menuntut daripada memantaskan diri.
Padahal, respon dunia luar hanyalah pantulan yang sifatnya dinamis.
Alih-alih menunjuk ke luar, tunjuklah diri kita sendiri. Karena bisa jadi yang kita tuduhkan ke orang lain hanyalah penilaian subjektif atau proyeksi atas diri kita sendiri, bukan realitas sesungguhnya tentang si subjek.
Di beberapa kasus perceraian yang sudah-sudah, salah satu pihaknya ini cuma bisa menyalahkan dan ngancam-ngancam pasangannya cerai tapi ga mau muhasabah. Seakan-akan jadi korban yang gak salah apa-apa, padahal penyebab pasangannya menggila adalah dia.
Perceraian memang halal tapi dibenci olehNya. Nah logikanya, kalau kita memang niat menikah untuk mencari ridha-Nya, kita akan melakukan hal-hal yang dicintai olehNya dan meninggalkan hal-hal yang dibenci olehNya termasuk perceraian beserta segala penyebabnya.
Cinta yang abadi itu mungkin dan sangat masuk akal, kalau niat kita nikah sejak awal adalah untuk mencari keridhaanNya, cinta atau bencinya kita kepada pasangan juga bukan karena alasan apa-apa melainkan karenaNya.
Semarah-marahnya kita, separah-parahnya pertengkaran, kalau bisa jangan sampai menyebut kata "cerai", kecuali kesalahan pasangan sudah sangat keterlaluan (misalkan selingkuh, musyrik, ga mau ibadah wajib dengan berbagai alasan) dan dia gak mau memperbaiki diri.
Buat apa bertahan dengan pasangan yang jauh dan hanya menjauhkan kita dariNya? Kan sejak awal tujuan kita menikah adalah ridhaNya. Kalau sudah gak sama lagi tujuannya, ya perceraian akan jauh lebih baik daripada mempertahankan pernikahan.
Ga cuma suami yang bisa talak, perempuan juga bisa gugat cerai kok. Cuma kalau perempuan minta cerai dengan alasan yang ga jelas ya ga usah diladenin. Mungkin lagi PMS aja atau stress.
Masalah pasangan suka lupa ini itu, taro barang sembarangan, masakannya kurang enak, selera fashion dan rambutnya aneh-aneh, tidurnya mendengkur, mandinya lama, kurang romantis dlsb adalah perkara sepele yang ga perlu dibesar-besarkan apalagi diributkan.
Pasangan bisa gila kalau setiap kali dia bikin kesalahan sepele kita keluhin, omelin, ceramahin panjang lebar atau kritik abis-abisan, entah itu salah ngomong atau salah sikap. Pasangan mana betah sih kalau setiap hari harus berurusan sama orang yang over kritik? Tentram enggak, yang ada capek dan tertekan terus-terusan seakan hidup dalam neraka. Seakan baru ngilangin duit 1M padahal cuma lupa nutup botol atau taro kecap ke tempat semula.
Orang dewasa menjadikan masalah besar jadi kecil, masalah kecil jadi lenyap. Masa lalu dan takdir yang ga bisa diubah tentangnya (misalnya genetik, mukanya kurang simetris) juga bukanlah suatu hal yang perlu dipermasalahkan, tapi diterima. Segala aib pasangan di masa lalu yang telah disadari dan diperbaiki olehnya juga bukan untuk diungkit-ungkit apalagi disebarluaskan, tapi dibantu supaya benar-benar selesai dan ga terulang lagi. Kekurangan pasangan adalah ujian kesabaran yang bisa mendekatkan kita padaNya.
Kalau masalahnya bukan perkara dosa besar dan pasangan mau memperbaiki diri, masih bisalah ditolerir.
Yakini aja bahwa setiap masalah punya solusi dan akan selesai kalau dihadapi bersama-sama. Tuhan beserta orang-orang yang sabar dan ga mungkin kasih ujian di luar batas kemampuan hambaNya. Instead of blaming, kita juga harus sering-sering introspeksi dan ngaji dari para arifin (bukan mereka yang cenderung menafsirkan ayat/hadits pake nafsu dan akal yang sempit tanpa mempelajari konteks dengan ilmu-ilmu yang relevan dan memadai). Banyak kan tuh salah kaprah soal poligami, soal kewajiban suami-istri dll yang sifatnya sangat patriarkis which is bukan ajaran Islam, tapi tradisi budaya tertentu. Islam itu sangat memuliakan perempuan, bahkan perempuan aja ga wajib untuk melakukan pekerjaan bersih-bersih dan memasak.
Adapula anggapan bahwa dosa anak istri ditanggung suami. Loh, memang benar bahwa kepala keluarga akan dimintai pertanggungjawaban atas anak istri, tapi kalau dia sudah menjalankan kewajibannya dengan benar sementara mereka (anak istrinya) yang nakal dan tetap berbuat dosa, ya itu bukan salah dan tanggung jawab dia. Kata Buya Yahya, kalau kepala keluarganya yang bikin anak istrinya terjerumus misalnya dengan menghasut/memaksa mereka untuk melakukan dosa, itu baru dianya bakal nanggung dosa juga. Dosa karena ngajak dan maksa orang lain berbuat dosa. Tuhan Maha Adil, setiap orang akan menanggung dosanya masing-masing. No soul burdened with sin will bear the burden of another. And if a sin-burdened soul cries for help with its burden, none of it will be carried—even by a close relative, QS Al-Fatir: 18.
Kepala keluarga juga bisa salah dan menjerumuskan kita ke neraka. Intinya, taat itu bukan pada kepala keluarga, melainkan padaNya dan utusanNya. Kalau pasangan kita malah menjauhkan kita dari ketaatan yang sejati, untuk apa taat kepadanya?
Ada pula penceramah yang bahas kecantikan para perempuan surga sebagai motivasi. Apaan coba. Surga itu tempat yang suci dan mulia, apa ga pengen gitu ketemu para nabi dan Sang Pencipta? Padahal dalam niat ibadah entah itu setiap solat, puasa dlsb kita mengucapkan lillahi Ta'ala, karena Allah. Bukan karena nafsu pada perempuan.
Kalau mau dunia luar merespon lebih baik, hendaknya kita mengubah diri sendiri jadi lebih baik. Jangan dibalik dan jangan berhenti. Seringkali pasangan itu bercermin dan meniru kita. Pasangan buruk karena niru teladan kita yang buruk. Salah kita adalah ngasih teladan yang buruk, tapi bukannya introspeksi malah nyalahin pasangan. Padahal, pasangan cuma kloning diri kita.
Sebelum menilai orang lain sebagai pembangkang atau pemberontak yang sulit diatur, coba nilai diri kita sendiri... Supaya kita less judgmental dan lebih tau diri.
Apakah saya tidak membangkang dan memberontak terhadap ideal atau aturan yang saya buat sendiri? Sebelum minta pasangan tepat waktu, tanya ke diri sendiri, saya juga sering ngaret ga? Sebelum minta pasangan jaga diri, tanya ke diri sendiri, saya juga bisa jaga diri ga? Sebelum minta pasangan hidup sederhana, tanya ke diri sendiri, saya juga foya-foya ga? Sebelum minta pasangan olahraga, tanya ke diri sendiri, saya juga olahraga ga? Sebelum minta pasangan setia, tanya ke diri sendiri, saya juga suka berkhianat dengan mata (mata keranjang, porn addict) dan suka tebar pesona ga? Sebelum minta pasangan mempersiapkan kematian, tanya ke diri sendiri, saya sendiri sudah mempersiapkannya belum? Sebelum minta pasangan menurunkan gengsi, tanya ke diri sendiri, saya juga gengsian setengah mati ga? Sebelum minta pasangan memperbaiki diri, tanya ke diri sendiri, saya sendiri mau memperbaiki diri ga? Jangan minta pasangan memahami kita padahal kita sendiri ga mau memahami diri sendiri apalagi pasangan.
Memang sebaiknya kita berterima kasih bila sudah diingatkan atau diberi nasehat, karena nasehat itu tanda cinta. Orang lain gak perlu menjadi sempurna untuk memberi nasehat. Kalau hanya manusia sempurna yang boleh menasehati kita, selamanya kita gak akan pernah bisa dan mau menerima nasehat, karena gak ada manusia tanpa kekurangan yang bebas dari dosa.
Saya setuju dengan Ali bin Abi Thalib yang berpendapat bahwa lihatlah apa yang disampaikan dan jangan melihat siapa yang menyampaikan. Kalau nasehatnya baik dan masuk akal, apa salahnya menerima? Para pemaksiat pun boleh saja memberi nasehat. Mereka memberi nasehat bukan karena mereka paling suci, paling benar atau ga pernah melakukan kesalahan, tapi karena mereka ga mau kita terpuruk, ga mau kita mengalami nasib buruk dan merasakan perihnya karma seperti mereka.
Namun pada kenyataannya, memang orang-orang akan lebih mudah mengikuti nasihat dari orang lain yang ilmu dan amalnya sesuai.
Sebaliknya, mereka akan sulit respect bahkan bisa protes bila diberi nasihat oleh orang lain yang tidak menjalankan nasihat tersebut. Lain ilmu, lain amal. Tak ubahnya burung beo, bisa mendengar dan meniru ucapan bijak untuk diperdengarkan ke orang-orang, tapi apa yang didengar dan diperdengarkannya hanya sampai di kerongkongan, tidak meresap ke hati dan tercermin di laku. Bukankah satu teladan lebih berharga daripada sejuta nasihat?
Banyak yang berpendapat bahwa laki-laki membutuhkan respect, sementara perempuan membutuhkan cinta.
Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa respect orang yang kelakuannya buruk? Bagaimana bisa mencintai orang yang gak respect kita? We get what we deserve, ga perlu ngeluh, ga perlu nuntut... tapi sama-sama ngaca aja dan pantasin diri.
Nikah itu isinya gak melulu tentang hal-hal yang menyenangkan, banyak hal yang bisa memicu pertengkaran.
Kalau setiap kali bersinggungan malah memilih diam, menghindar atau memutuskan hubungan daripada menghadapi dan menyelesaikan ujian bersama-sama, ya ga akan awet dengan siapapun.
Karena ga ada hubungan yang bebas ujian, cepat atau lambat akan ada. Entah itu dari diri sendiri, pasangan, keluarga, teman, tempat kerja. Bisa tentang duit, gaya hidup, prinsip, hobi, selera, jenis KB ya macem-macem lah.
Kalau mau memaklumi dan memaafkan kesalahan pasangan yang terasa mengganggu tanpa membicarakannya pada pasangan, ya konsekuensinya pasangan bisa jadi ga sadar-sadar dan berkemungkinan untuk mengulang-ulang kesalahan yang sama.
Kadang memilih terbuka itu perlu dan jauh lebih baik daripada mendam-mendendam dalam diam lalu meledak di kemudian hari sehingga merusak hubungan.
Kalau cara penyampaian oke (no shaming, no harsh judgement) dan mood pasangan sedang bagus, pasangan ga akan tersinggung dan bisa nerima kok. Pintar-pintar aja baca situasi, sudah tahu pasangan sedang banyak masalah, baru pulang kerja, sedang fokus kerja, sedang ngejar deadline, sedang lapar, kurang tidur, sedang tidak enak badan, kurang piknik atau sedang PMS... ya kurang pas rasanya untuk diajak diskusi serius, apalagi bahas hal-hal yang sensitif.
Kalau tidak peka dalam membaca situasi, paling tidak kita bertanya dulu, apakah pasangan itu available atau tidak untuk diajak bicara. Komunikasi.
Mereduksi pikiran dan perasaan yang kompleks ke dalam kata-kata memang tidak selalu mudah, tapi bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dipelajari dan dilatih. Oleh karena itu ada ilmu komunikasi.
Tapi ada juga orang-orang yang mudah ke-triggered dan sulit berkompromi karena belum berdamai dengan diri sendiri atau luka masa lalu.
Orang dengan luka batin cenderung sulit untuk membuka diri, cranky, bawaannya juga terlalu curiga karena ada perasaan takut untuk disakiti lagi. Instead of doing self-healing and inner work, banyak yang memilih pelarian atau pengalihan rasa sakit sehingga ga sembuh-sembuh. Entah itu dengan mencari kesibukan, gila kerja, nge-gym, travelling, nge-game, mabuk-mabukan, pake narkotika, casual sex dll. Adapun yang memandang bahwa lebih baik menyakiti daripada disakiti ke depannya sehingga merasa benar untuk menjadi bajingan. Padahal, luka batin itu harus dihadapi dan diolah. Waktu gak menyembuhkan, perspektif kita tentang luka, itulah yang perlu diubah. Sebenarnya sesuatu itu netral hingga kita beri nilai, dan hendaknya kita selalu berprasangka baik kepada Tuhan dalam memaknai segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita. Coba lihat secara keseluruhan, bukan dari satu sisi di waktu tertentu saja. Pakai gestalt understanding.
Hidup ini memang paradoks, tanpa rasa sakit kita ga akan mengerti nikmat itu apa.
Beberapa pelajaran kadang memang perlu ditempuh dengan rasa sakit. Kita jadi tau mana yang baik dan buruk untuk dilakukan.
Oh ternyata diginiin itu sakit, jadi sebaiknya kita ga gituin orang. Kurang lebih begitu.
Kita gak perlu menyalahkan, balas dendam atau melakukan pembuktian apapun agar orang yang menyakiti kita menyesal. Just say thank you for the lesson and pray the best for them. Kita belum tentu sanggup jadi dia dan menanggung resikonya lho.
Semua ada hikmahnya, bahkan di pengalaman terpahit sekalipun. Kita aja yang kadang gagal menangkap pesan cinta Tuhan di balik itu, sehingga memilih rasa sakit dan dendam untuk memaknainya.
Orang yang batinnya sakit, akan sulit untuk memandang dengan cinta dan mencintai keindahan pada segala sesuatu... Senyata, sebanyak atau sesering apapun itu. Sama halnya seperti orang sakit gigi yang tidak bisa menikmati kelezatan makanan di food court, atau orang sakit covid dengan anosmia yang tidak bisa mencium keharuman parfum di toko parfum. Orang yang batinnya sehat, bersih dari dendam masa lalu dan prasangka buruk terhadap masa depan sehingga batinnya lega dan bisa menikmati keindahan hidup dengan penuh syukur dan optimisme.
Sebelum nikah, perlu banget calon pasangan sama-sama belajar untuk menurunkan ego, belajar menerima dan memaafkan diri sendiri maupun orang lain. Sembuh dulu, jadi bisa emotionally available. Sehingga, bisa lebih terbuka dan percaya orang lagi, bisa lebih stabil dalam berkomunikasi, membina relasi dan menghadapi berbagai masalah rumah tangga di kemudian hari.
Saya pribadi juga selama ini emotionally unavailable karena sejujurnya belum siap nikah, karena punya tanggungan sampai pertengahan tahun naga 2024. Baru tahun 2022 aja ada panggilan buat beneran nikah dan memantaskan diri, sebelum-sebelumnya ya sebatas wacana aja. Gak bener-bener niat apalagi mempersiapkan diri. Sebelumnya saya malah sempet kepikiran ga usah nikah dan punya anak lantaran sudah merasa bahagia dan damai dengan kehidupan penuh cinta yang saya jalani saat ini. Everything is just perfect.
Tapi kesentil hadits ini:
Di awal tahun 2023 ini kebetulan saya sudah bebas tanggungan, lebih cepat dari perkiraan. Jadi bisa lebih emotionally available buat commited relationship beneran bukan pacar-pacaran. Kenapa pacaran kalau bisa bebas dan puas ngapain aja tanpa ada yang larang-larang dan sembunyi-sembunyi secara legal dan halal?
Untuk perempuan independen, saya rasa menikah bukanlah suatu hal yang urgent, apalagi yang akan menanggung banyak resiko pernikahan adalah pihak perempuan. Harus mengandung, melahirkan, menyusui dlsb.
Oleh karena itu, justru bargaining position yang lebih tinggi ada di pihak perempuan.
Jadi kalau dipikir-pikir ulang, sebenarnya gak logis banget untuk ngejar laki-laki, apalagi tipe wishy-washy boy. Percuma meyakinkan orang yang bahkan ga punya keyakinan sama dirinya sendiri.
Mengejar orang lain sama dengan memberikan mereka power, dan orang yang punya power cenderung berlaku sewenang-wenang. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, Lord Acton.
Laki-laki yang ketika dites dengan power (uang, pengetahuan, jabatan, keturunan, relasi bagus, perhatian) jadi memandang pasangan sebelah mata dan berlaku sewenang-wenang bukanlah pilihan yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup. 100% red flag. Menghadapi tipe dzholim seperti ini akan serba salah dan sangat menguras emosi. Dituruti ngelunjak, ga dituruti mainin perasaan. Entah itu bikin cemburu, bikin merasa bersalah, bikin takut dengan ngancem-ngancem (ninggalin, mengakhiri hubungan), marah-marah dll yang tujuannya adalah untuk memegang kendali dan menundukkan kita supaya menuruti keinginannya. Kalau dia sudah bosen, dia bisa membuang pasangannya gitu aja dengan bilang sudah gak cinta.
Tipe ini boro-boro bisa memuliakan pasangan, yang ada pasangan cuma dijadikan keset atau sapi perah. Semakin dependen, semakin habis dan teraniaya. Mereka juga ga akan segan-segan untuk melakukan KDRT atau pakai jalur kotor demi memenuhi egonya. Relasi dzholim dan mazlum ini gak sehat. Gak mau gantian dan selalu ingin mendominasi atau menaklukan yang lain, sama gak sehatnya dengan mengalah terus-menerus dengan yang lain.
Better memang sama yang sama-sama ridha dan paham agama aja.
Capek diajak main tebak-tebakan, tarik ulur, jinak-jinak merpati, menghilang untuk dicari, jual mahal untuk diperjuangkan, lari untuk dikejar, serta drama-drama manipulatif lainnya.
Ga heran mengapa banyak orang setelah PDKT selama bertahun-tahun, menikahnya sama orang lain yang baru dikenal. Simply, karena mereka sudah terlalu lelah dan ga melihat masa depan bersama orang-orang manipulatif yang gak bisa menghargai waktu dan perasaan orang lain. Sementara, si orang baru ini datang dengan menawarkan hubungan berlandaskan cinta yang tulus dan komitmen yang jelas tanpa drama. Suka bilang suka, enggak bilang enggak. Jadi gak bikin orang bingung harus bersikap gimana. Kalau diam-diam aja kan jadinya bikin orang berprasangka dan interpretasi sendiri. Gak jujur lebih parah. Eggak bilang suka, suka bilang enggak. Suka bilang enggak... Mau mendekat jadinya takut ganggu atau bikin risih, tapi kalau kita cuekin atau sama yang lain dianya baper. Bikin repot.
Benar bahwa perasaan itu gak bisa dipaksakan, gak bisa dibuat-buat, karena perasaan (cinta) itu sifatnya given. Jadi gak perlu sebenarnya kita mencoba memperjuangkan atau meyakinkan perasaan orang lain dengan istilah ngejar, apalagi ngasih dia ultimatum.
Kalau seseorang itu juga cinta dan yakin sama kita, dia gak akan abu-abu dan banyak alasan, gak akan bikin kita lama menunggu dan bertanya-tanya dalam ketidakpastian. Kalaupun butuh waktu, dia akan bilang dengan tenggat yang jelas.
Mereka akan melakukan apa yang perlu mereka lakukan tanpa diminta agar bisa hidup bersama kita. Bahkan, kalaupun mereka belum siap, mereka akan berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Yang tadinya nganggur, cari kerja, nabung. Yang tadinya sakit-sakitan, berhenti begadang, berhenti merokok, olahraga, makan sehat. Yang tadinya kekanak-kanakan, belajar dewasa. Yang tadinya ga ngerti agama, belajar agama. Dll...
Tanda cinta atau ga cinta itu jelas, ga ambigu.
Dalam cinta pilihannya cuma dua, take it or leave it. Cinta itu tak dapat dinanti, ambil dia dengan penuh keberanian atau lepaskan dia dengan penuh keridhoan, Ali bin Abi Thalib.
So... If it isn't a clear yes, then it's a clear no, Greg McKeown.
Cinta selalu punya solusi untuk setiap masalah, ga cinta selalu punya masalah untuk setiap solusi. Cinta selalu melihat kemudahan dan kesamaan yang dapat menyatukan, ga cinta selalu melihat kesulitan dan perbedaan yang dapat memisahkan.
Cinta ya cinta aja, ga perlu pakai taktik dan main trik, apalagi pakai mantra-mantra atau pelet segala biar pasangan tunduk dan bertekuk lutut bagai kerbau yang dicocok hidungnya, selalu gelisah mikirin, selalu merindukan dan ngebet ketemu sampai kesulitan konsentrasi dan tidur nyenyak.
Membuat orang lain melupakanNya dan tergila-gila dengan kita (fanatik) bukanlah prestasi yang membanggakan. Menjadikan diri kita sebagai idola/berhala/tandinganNya bukanlah hal yang diridhai olehNya. Kita tidak diciptakan untuk menyembah maupun menjadi sesembahan orang lain.
Ga cinta ya ga cinta aja, ga perlu dieman-eman (digantungkan, dilihat dulu usahanya, dijadikan cadangan).
Kalau seseorang sudah menyatakan dengan jujur dan jelas bahwa dia ga berkenan dengan kita, apalagi pakai argumentasi which is artinya sudah mempertimbangkan keputusan dan konsekuensinya masak-masak, ya sudah, terima kenyataan dan hargai keputusan finalnya.
Ga perlu ditahan-tahan, apalagi sampai ngemis-ngemis dan kehilangan identitas dengan menjadi budak keinginannya supaya dia stay atau berubah pikiran. Gak perlu stalk samasekali atau mengusik hidupnya lagi, doakan saja supaya dia hidup damai dan bahagia dengan pilihannya. Entah itu melajang, gonta-ganti pasangan atau menikah dengan yang lain.
Bisa jadi dia memang bukan jodoh kita, tapi ujian keikhlasan aja. Kita gak perlu bersedih hati apalagi merasa kehilangan, karena pada dasarnya dia memang bukan milik kita dan ga akan pernah menjadi milik kita. Sejatinya kita ga punya apa-apa dan ga pernah kehilangan apapun, semuanya milik Tuhan Yang Maha Esa.
Gak sepantasnya kita menyimpan perasaan dan masih memikirkan orang yang sudah jelas-jelas tidak berniat dan tidak ada perasaan apa-apa untuk menjalin hubungan halal dengan kita. Ibaratnya sudah kartu mati. Gimana caranya melupakan orang yang kita cintai? Perbanyak sholawat aja.
Segala mimpi-mimpi, firasat dan perasaan yang menghampiri kita tentangnya... seintens, sedalam dan senyata apapun itu, bisa jadi bukanlah petunjuk bahwa dia adalah jawaban, bisa jadi bukanlah tanda-tanda yang datang karena kita peka.... jika, yang merasakan semua itu hanyalah kita sendiri secara sepihak. Alias, cinta bertepuk sebelah tangan dan tidak ada sinkronisasi.
Kita mungkin punya firasat yang tajam dan tak pernah meleset selama ini, tapi ada kalanya kita juga bisa salah.
Bisa jadi yang sering kita temui dalam mimpi bukanlah higher self-nya, melainkan penjelmaan syaitan. Sebab, dia bukanlah Nabi Muhammad SAW yang tidak bisa diserupai oleh syaitan.
Bagaimana jika seseorang itu menyangkal atau berdusta tentang perasaannya? Bagaimana jika suatu saat dia berubah pikiran? Itu adalah hal-hal yang ga bisa kita kontrol dan pastikan.
Kita ga bisa memaksa orang lain untuk berterus terang apalagi bila orang tersebut sudah terbiasa berdusta, kita juga ga bisa memastikan masa depan.
Takdir yang perlu kita terima saat ini adalah, kita tidak berjodoh dengannya.
Sebab, bila Allah menginginkan dua hati untuk bersatu, Dia akan menggerakkan keduanya, bukan hanya satu.
Manusia memang punya naluri penghambaan (gorzaul tadayyun), tapi tidak sepantasnya kita menghamba pada orang lain maupun ego sendiri dengan menjadi budak cinta orang lain yang berkeras hati mengingkari takdir.
Tidak ridha pada ketetapanNya adalah sumber dari segala penyakit jiwa.
Mau punya gangguan jiwa hanya karena tidak nerima takdir bahwa kita ditolak oleh seorang laki-laki atau perempuan? Saya sih ga mau.
Gak sepantasnya juga kita menduakan Tuhan dan kekal di neraka akibat menyembah/mengikuti langkah-langkah setan dengan menggunakan sihir untuk mengubah takdir atau balas dendam. Cinta ditolak dukun bertindak itu nyata. Sihir itu ada, di Al-Qur'an juga dibahas. Ga percaya dengan adanya sihir sama saja dengan menganggap bahwa firmanNya adalah dusta. Banyak pasangan yang hubungannya rusak akibat praktek ilmu sihir tafriq atas permintaan orang-orang yang punya penyakit hati dan sudah berputus asa dari rahmatNya. Walaupun kita beriman, kita harus tetap hati-hati. Semakin beriman seseorang, setannya juga semakin elit dan gigih buat cari celah.
Mengharapkan orang lain untuk menjilat ludah sendiri dan berterus terang mengenai keadaan dan perasaannya di masa depan juga bisa jadi penungguan sia-sia tanpa akhir. Ada orang-orang yang lebih baik mati dengan egonya daripada mematikan ego sebelum mati untuk menarik kata-katanya kembali dan mengikuti hati nuraninya. Bisa saja kita berjodoh dengannya tapi nanti, setelah jutaan tahun cahaya, saat semua ego manusia telah dihancurkan karena tak ada lagi hal yang tersisa untuk dibanggakan dan dijadikan penolong, tak ada lagi hal yang bisa ditutup-tutupi dan disangkal karena semuanya akan bersaksi dengan sendirinya, saat semua gengsi telah sirna karena semuanya bahkan iblis sekalipun telah sibuk dengan urusannya masing-masing, saat semua prasangka-prasangka telah diluruskan, saat segala rasa dan ingatan akan masa lalu yang menyakitkan telah ditebus sehingga kita semua bisa memulai lagi dari awal tanpa beban dan penuh sukacita.
Kita versi dunia mungkin memang lebih baik tidak dipersatukan bila hanya akan saling menyakiti dan menjadi neraka bagi satu sama lain.
Namun, itu hanyalah satu dari banyak kemungkinan yang belum tentu terjadi.
Tidak semestinya kita berandai-andai, memanjangkan angan-angan dan menunda-nunda kebaikan seperti niat untuk menyempurnakan agama ketika kita sudah siap dan menemukan calon yang tepat, yang sama-sama mencintai kita dan mencintaiNya.
Pernikahan gak perlu resepsi mewah, yang penting sah secara hukum negara dan agama. Mau kapanpun di KUA juga bisa. Kalaupun mau resepsi ya sederhana aja untuk menghindari fitnah. Seperti yang saya singgung di awal, nikah itu bukan untuk mencari ridha manusia, tapi keridhaanNya. Kekayaan bukan untuk dipamerkan, biar tekor asal kesohor apalagi sampai ngutang-ngutang adalah resep hidup menderita. Menurut ilmu fisika, tekanan berbanding lurus dengan gaya. Kalau hidup penuh tekanan, berarti kebanyakan gaya.
Daripada bayar resepsi ratusan juta untuk pesta sehari yang akan dilupakan juga oleh orang-orang, akan lebih bijaksana jika uangnya dipergunakan untuk investasi jangka panjang, modal usaha atau umroh sekalian ngajak mertua dan ga perlu bilang siapa-siapa. Dianggap miskin, jauh lebih aman dan lebih damai daripada dianggap kaya. Terserah orang lain mau ngomong apa, yang penting kalau butuh sesuatu kita ga ngutang-ngutang apalagi yang berbunga.
Dengan atau tanpanya, Bumi tetap berputar dan kita masih hidup. Yang ngasih rejeki termasuk kebahagiaan kan Allah, bukan manusia. Gak sepantasnya kita menjadikan manusia lainnya sebagai tempat bergantung, berharap maupun bersandar.
Kadang kita memang perlu dipertemukan dengan orang-orang yang salah agar bisa lebih menghargai orang yang tepat di waktu yang tepat kelak. Gak ada yang perlu disayangkan atau disesali bila kita tulus dan sudah berterus terang. It's better to try your best and fail than to live with the regret of never trying.
Apapun yang telah dan akan terjadi, percaya saja bahwa kehendak dan rencana Tuhan adalah yang terbaik. PilihanNya sudah pasti yang terbaik, bagi kita semua.
Pasangan untuk selama-lamanya ga bisa asal pilih seperti membeli kucing dalam karung. Masa bodo dengan konstruksi sosial ala patriarkis soal konsep perawan tua. Umur cuma angka, Khadijah aja baru nikah usia 40 sementara Nabi Muhammad sebagai pasangannya usia 25.
Memang iya, ga ada calon yang sempurna.
Kita pun ga sempurna.
Walaupun sama-sama masih jauh... Yang penting pedoman, panutan dan tujuan hidup kita jelas apa. Orang yang tujuannya adalah ridhaNya, akan berpegangan teguh pada tali yang kuat supaya gak terombang-ambing dan selamat dunia akhirat. Kualitas diri dan hidupnya akan terus meningkat. Sebaliknya, kalau pedoman, panutan dan tujuannya seperti leluhur, teman-teman, artis atau public figure yang viral-viral dan ga jelas juntrungnya... masa depannya juga gak jelas. Kalau tujuan kita tidak sama dengannya, misalnya kita nyari ridhaNya sementara dia nyari ridha manusia, orientasi kita akhirat sementara dia mencari kesenangan dunia (popularitas, kekuasaan, para pria/wanita seksi dll tanpa mengenal batasan halal-haram)...
Ya kita gak akan nyambung, cocok apalagi awet.
Si calon akan merasa keberatan bahkan sangat tersiksa, kita hanya akan dinilai terlalu muluk-muluk, naif, seperti katak dalam tempurung, hidup dalam dongeng, sok suci, mabok agama, banyak aturan, terlalu menuntut kesempurnaan dll baginya.
Padahal, bukannya hidup itu memang proses menuju kesempurnaan ya? Walaupun kesempurnaan itu ga akan pernah kita gapai. Setiap hari bukannya proses menjadi lebih baik? Ngapain balik lagi jadi manusia purba yang hidup bebas tanpa ideal dan aturan? Gak sekalian aja bugil, berburu dan hidup di goa-goa lagi.
Memang iya eagle ga akan nyambung sama turkey, apalagi bisa terbang bersama dan bergulat menghadapi badai untuk naik ke level yang lebih tinggi. Warren Buffet pernah berkata, if you want to soar like an eagle in life, you can't be flocking with the turkeys.
Selama pergaulan kita dikelilingi oleh orang-orang yang gak punya prinsip atau pegangan ideal, hidup kita juga akan berputar-putar di lantai dasar. Di akhir zaman begini, ada baiknya kita menarik diri dari kerumunan (uzlah) daripada beramai-ramai melakukan hal-hal menyimpang yang dinormalisasi bersama. Sendiri gak masalah, daripada rame-rame bikin salah. Semua hal, termasuk segala aktivitas, idola dan tongkrongan yang kita senangi namun hanya menjauhkan kita dariNya, lebih baik mulai kita tinggalkan secara gradual hingga akhirnya kita bisa berlepas diri dan menggantinya dengan yang lebih baik. Parameter jalan yang kita tempuh itu benar atau salah tidak terletak pada perasaan kita, menyenangkan atau enggak. Jalan yang lurus adalah jalan yang mendekatkan kita padaNya, bukan menjauhkan dariNya.
Whatever purifies you is the right path, I will not try to define it, Rumi.
Salah memilih calon itu bahaya, karena bad company corrupts good character, 1 Corinthians 15:33. Kalau mau asal pilih sih gampang aja. Gak dicari juga pada datang sendiri, cuma saya kurang tertarik dengan yang petantang-petenteng, yang mentang-mentang, merasa paling-paling sejagad. Flexing saham, bisnis, kendaraan, rumah, barang-barang branded, keturunan, relasi, otot ini itu, padahal ditanya juga enggak. Kalau mau mengesankan orang lain gak gitu caranya, yang ada bikin ilfil. Narik orang pake hal fana, yang datang juga hal fana.
Merasa secure ga begitu?
Narik orang pakai uang, yang tertarik yang doyan uang aja, uang habis kita ditinggal.
Narik orang pakai badan bagus, yang tertarik yang lapar mata aja, badan berubah kita ditinggal. Secakep2nya orang itu sampe umur berapa sih? 60 ke atas juga udah lusuh.
Narik orang pakai pekerjaan bagus, saat nganggur kita ditinggal.
Sementara roda kehidupan terus berputar, keadaan bisa berubah bahkan berbalik kapan aja. Sehat jadi sakit, kaya jadi miskin, kuat jadi lemah, lapang jadi sempit, pintar jadi pikun...
Ga ada yang tetap dan pantes dibanggakan.
Ojo dumeh, eling lan waspodo.
Hendaknya kita sering-sering mengingat bahwa semua kepunyaan dan kekuasaan cuma milih Allah yang bisa ditarik kembali olehNya kapan aja.
Lebih baik perdalam ilmu agama dan perbaiki akhlak, pilih yang paling paham agama dan paling baik akhlaknya. Kalau orang paham agama, bukan cuma akhiratnya yang terjamin... dunia juga mengikuti. Nantinya akan selamat dan bahagia dunia akhirat.
Hari ini memang agak sulit menemukan calon yang tepat. Boys banyak, real men jarang. Boys maunya diurusin, senang-senang, minim tanggung jawab, ga mau repot, mau yang serba instan, selfish, juga suka ngambek supaya dibujuk-bujuk dan dipenuhi keinginannya. Pasangan salah, bukannya dikasih tau dengan sabar malah ngambek, ninggalin atau cari baru. Pasangan kurang perawatan karena ngurusin dia, rumah dan anaknya... bukannya bantu modalin perawatan atau sewa ART malah selingkuh. Mau pasangan punya lebih banyak waktu, perhatian dan energi buat dia, tapi ga mau kerja sama supaya pekerjaan rumah tangga lebih ringan dan cepat selesai. Padahal, pekerjaan rumah tangga juga sebenarnya bukan kewajiban perempuan. Itu sesuatu yang dilakukan atas dasar kerelaan hati, karena ga tega membiarkan pasangan yang ga sewa ART untuk melakukan semuanya sendiri. Laki-laki yang paham agama sih ga akan tega biarin istrinya kecapean sampe kehabisan waktu dan energi untuk diri sendiri demi melakukan sesuatu yang bukan kewajibannya.
Real men punya naluri kuat (masculinity) untuk provide and protect, dia mandang pasangan sebagai teman hidupnya bukan sebagai pengganti ibu apalagi babunya, sehingga bisa diajak kerja sama dan ngasih rasa secure ke pasangan. Nah, kalau ada laki-laki yang bilang suka wanita keibuan, perlu dipertanyakan tuh apa maksud dan tujuannya, karena artinya bukan hanya satu. Bisa jadi dia mencari sosok pengganti ibunya untuk manjain dan ngurusin hidupnya, dan punya unconditional love untuk selalu nerima dan maafkan dia sefatal dan sesering apapun dia buat salah, sehingga dia merasa aman untuk menjadi benalu dan berlaku sewenang-wenang. Tipe boys begini dikenal dengan istilah mokondo. Mokondo itu banyak, salah satunya kenalan saya. Istrinya sudah baik banget, apa-apa dikasih. Eh, dia malah main gila sama wanita lain. Pisahlah dia, stroke dan hidupnya jadi berantakan ga karuan.
Pertanyaannya, kok ada sih yang mau nikah sama mokondo? Entahlah. Bisa jadi bukan karena cinta, tapi korban sihir. Coba aja kepoin di internet, banyak manusia berkedok agama yang menawarkan berbagai jenis pelet secara online. Sihir ya sihir aja, gak usah pake kedak-kedok. Orang yang bermain-main dengan sihir, biasanya adalah orang yang insecure karena gak punya modal. Skill ga punya, motivasi dan etos kerja rendah, tapi mau hidup enak dan dipuja-puja. Mokondo pengguna sihir bisa jumawa dan sewenang-wenang banget sama pasangannya, karena dia mikir pasangannya ga bakal kemana-mana ini. Mau diapainpun, akan selalu memaafkan, menerima dan setia. Sudah caranya jahat dan gak fair, tujuannya gak benar pula. Semoga mereka dan kita semua diberikan hidayah untuk kembali ke jalan yang lurus. Cukuplah kematian sebagai nasehat. Semasa hidup, hendaknya kita semua banyak introspeksi dan sering mengingat kematian.
Kalau pasangan selingkuh, baiknya memang dilepas aja, biarin saja dia menikmati segala yang dia mau di dunia ini.
Cinta kita terlalu berharga untuk diberikan kepada budak dunia yang rakus pada hal haram dan kufur nikmat pada yang halal. No matter how kind we are... It's impossible to satisfy greedy ungrateful people, they will never get enough.
Salah satu kesalahan fatal yang ga bisa saya tolerir yaitu perselingkuhan. Kalau pasangan selingkuh, saya pilih cerai. No excuse or second chance. Selingkuh itu bukan sekedar masalah fisik, tapi soal prinsip hidup. Janji bukan untuk diingkari, kepercayaan bukan untuk dikhianati. Gelas kaca yang sengaja dibanting hingga pecah berkeping-keping, bisa disatukan lagi tapi takkan kembali seperti sedia kala. Kepercayaan, sebagai pondasi pernikahan sudah hancur. Sulit menghormati dan melayani orang yang sudah berkhianat dan tidak dapat dipercaya lagi dengan baik. Jadi, daripada menyakiti hati pasangan yang sudah berselingkuh dengan perlakuan yang buruk, berpisah akan jauh lebih baik. Bisa ditanya ke para perempuan yang jadi korban perselingkuhan suaminya, mereka itu sebenarnya sudah sangat jijik dan muak dengan suaminya, cuma terpaksa bertahan demi anak atau pertimbangan lainnya. Bukannya salah satu manfaat pernikahan itu untuk merasa tentram ya? Jadi kalau setiap hari malah dibuat merasa jijik, curiga dan sakit oleh pasangan, buat apa bertahan? Belum lagi kena resiko penyakit menular seksual (PMS) atau sexually transmitted disease (STD) dari para selingkuhannya. Ada sifilis, gonore, chancroid, donovanosis, LGV, kondiloma akuminata, trikomoniasis, HIV, herpes genital dll yang gak main-main bahayanya, bahkan, beberapa diantaranya bisa menyebabkan kematian. PMS juga bisa menular ke kandungan, sehingga kandungan yang tertular akan terlahir cacat atau dengan beragam penyakit yang serius.
In short, selingkuh adalah sebuah perbuatan keji yang sangat membahayakan keselamatan pasangan dan keturunan kita, maka dari itu pelaku perselingkuhan bisa dirajam sampe mati.
Setia boleh, bodoh jangan. Forgive yes, forget no. Sesuatu yang jauh lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya, lebih baik ditinggalkan. Toh, yang ngatur dan ngasih kita rejeki selama ini adalah Allah yang Maha Kaya, bukan pasangan kita. Pasangan itu cuma salah satu jalur aja.
Dari kasus-kasus yang saya amati memang benar bahwa pernikahan itu ga bisa mengubah orang, cuma mengubah status mereka aja.
Gak ada jaminan bahwa karakter dan kebiasaan buruk seseorang itu akan berubah setelah menikah. Kalau sebelum menikah bajingan, setelah nikah ya tetap bajingan.
Pernikahan bukan sulap bukan sihir, kebiasaan dan karakter itu perlu konsistensi dan waktu yang relatif lama untuk diubah.
Kalaupun pada akhirnya pasangan kita berubah (kembali ke fitrahnya, ke jati diri yang sebenarnya), itu jelas bukan karena kita. Kita ga bisa mengubah orang, jangan pernah merasa berjasa, kita hanya bisa mengingatkan dan menginspirasi.
Orang bisa berubah karena hidayah yang datang dari Allah serta keputusan dan kemauannya sendiri. Kapankah hidayah itu datang? Entahlah. Bukankah lebih baik menjemput daripada sekedar menunggu?
Bagi mahkluk visual dengan libido yang tinggi, menikah sepertinya menjadi kebutuhan urgent agar bisa lebih menjaga pandangan dan kemaluan dari perzinahan.
Tapi masa iya menikah atas dasar nafsu dan memandang pasangan sebagai objek pemuas nafsu? Berarti kalau pasangan sedang tidak bisa memenuhi kebutuhan seksual, ada kemungkinan selingkuh atau nikah lagi agar tidak ada masa nganggur saat istri sedang berhalangan dong? Berarti komitmen untuk mempertahankan pernikahan hanya sebatas selama pasangan bisa memenuhi kebutuhan seksual?
Orang yang pondasi pernikahannya dibangun atas dasar nafsu (memuaskan keinginan mata dan keinginan daging) ini mengerikan. Banyak kasus dimana para istri baru selesai melahirkan atau tubuhnya menjadi tidak semenarik dulu, para suaminya ini malah selingkuh. Bukannya ikut jaga bayi atau kasih modal untuk perawatan. Parahnya lagi, sudah selingkuh, bawa STD (sexually transmitted disease) pula ke pasangannya yang selama ini sudah setia dan percaya sama dia.
Saya sendiri prefer untuk banyak berpuasa daripada menikahi orang lain atas dasar nafsu.
Sex bukanlah kebutuhan hidup yang jika tidak dipenuhi akan membuat kita mati, tetapi naluri aja yang jika tidak dipenuhi bisa membuat galau atau uring-uringan, terutama bagi para lelaki karena pengaruh hormon. Sementara jika ditahan-tahan bisa menimbulkan penyakit.
Tidak demikian halnya bagi perempuan.
Jadi kalau ga nikah-nikah, sebenarnya yang lebih tersiksa adalah pihak laki-laki. Tau sendiri kan hukum main sendiri atau zina gimana.
Hukuman zina itu gak main-main loh.
Perempuan mah santai aja, ga perlu ketar-ketir.
Jadi kalau ada perempuan independen yang ngajak nikah, itu jelas bukan karena dia butuh atau ingin sesuatu. Tapi lebih karena rasa cinta yang berasal dari banyak pintu, khususnya pintu kasihan. Kasihan yang biasa aja namanya simpati, kasihan banget jadinya empati. Tanda empati yang sesungguhnya itu ga sekedar ngomong, ga sekedar menghakimi dan menasehati dari jauh lalu lepas tangan, tapi mau terlibat secara aktif, dalam dan serius. Dan pembuktian itu, gak bisa dilakukan pada lawan jenis di luar pernikahan.
Kasihan bukan berarti memandang diri lebih tinggi dan memandang rendah yang dikasihani seperti kata Sujiwo Tejo. Saya malah sepemikiran dengan David Hume dan Buya Hamka dalam hal ini. Kasihan justru adalah tanda ketulusan yang gak bisa dibuat-buat, kasihan itu murni karena peduli, bukan karena mengharapkan imbalan apapun. Rasa kasihan adalah akar dari semua etika. Tanpa adanya rasa kasihan, kita bisa berlaku seenaknya bahkan sangat kejam terhadap pasangan. Mau bersikap dingin, mukul, selingkuh, morotin hartanya, ninggalin ketika sakit, ninggalin ketika miskin, bahkan ngeracunin dan mutilasi ... Ya tega-tega aja.
Banyak laki-laki yang menyukai konten panas bahkan sampai kecanduan, namun tidak sama halnya dengan perempuan.
Saya juga bukan pecandu konten panas karena hal tersebut bisa memberikan banyak dampak negatif, ga cuma pada kesehatan fisik, tapi juga emosional dan hubungan dengan orang lain seperti membuat kita lost interest dan punya trust issue sama pasangan, sinis tentang cinta, kurang percaya dengan hubungan monogami, anggap bahwa berhubungan sex bebas itu biasa, potensi besar selingkuh dan cerai, mikir bahwa abstinence dan sexual inactivity ga sehat, punya negative perception, attitude, dan aggression ke lawan jenis, dll.
Saya memang sempat ambil mata kuliah fisiologi reproduksi di FMIPA UI, koleksi ebook dan kadang juga nonton video tentang sex education untuk lebih mengenal diri sendiri dan pasangan, tapi itu sama sekali berbeda dengan porno. Orang yang suka konsumsi konten porno, cenderung memandang dan memperlakukan pasangannya sebagai objek fantasi belaka. Raganya memang sama pasangannya, tapi perasaan dan pikirannya melayang-layang entah kemana. Itu kan tergolong selingkuh juga, selingkuh batin. I won't hurt my dearest partner by doing that. Sama dia ya fokusnya ke dia aja, being fully present. Mau gimanapun fisik dan performanya, saya ga akan judge apalagi permasalahkan. Ada ungkapan yang bilang bahwa men need sex to feel loved, woman need to feel loved to have sex. Tapi sebenarnya yang diinginkan laki yang hidup di dunia kompetisi bukanlah sex semata, tapi perasaan diterima dan dipahami sepenuhnya tanpa dihakimi termasuk dalam berhubungan sex.
Lagipula, hal beginian bukan prioritas juga buat saya.
Alasan tertinggi manusia untuk melakukan sesuatu adalah cinta, cinta dengan jiwa, bukan karena kebutuhan atau keinginan personal. Cinta bukan ilusi untuk meromantisasi hasrat untuk bereproduksi. Justru cinta menyadarkan ilusi yang sebenarnya, yaitu perbedaan dalam kefanaan.
Segala perbedaan yang nampak antara aku dan kamu di dunia yang fana ini hanyalah ilusi, karena sejatinya kita satu.
Walaupun beda usia, fisik, suku, ras, bahasa, agama, negara, golongan darah, tradisi dan beda-beda lainnya... Selama kita punya perasaan yang sama dalamnya, kita akan tetap terhubung. I'm in you, you're in me. I feel you, you feel me.
Bahagiamu, bahagiaku. Sedihmu, sedihku.
Bisa saling merasakan bukanlah sekedar gombal-gombalan belaka, tapi sesuatu yang bisa dijelaskan dengan teori fisika kuantum khususnya quantum entanglement. Well, semua ini adalah energi termasuk perasaan kita, dan energi kita saling terhubung satu sama lain.
The flapping of the wings of a butterfly can be felt on the other side of the world, Chinese proverb.
Semakin dekat hubungan antara dua orang, energinya akan semakin terasa. Apalagi jika keduanya punya tingkat kepekaan atau kesadaran yang tinggi. Kalau satunya peka, satunya keras... Ya gak akan nyambung.
Orang keras yang penuh dengan diri sendiri, hanya mampu merasakan dirinya sendiri.
You have to keep breaking your heart until it opens, Rumi.
Karena kita dan yang kita cintai saling berbagi energi, kita akan enggan untuk mentransfer energi bervibrasi rendah untuk dirasakan olehnya, sehingga kita akan terpacu untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri (insan kamil). Ketika mencintai orang lain secara mendalam, secara alami kita akan terdorong untuk menyempurnakan diri dan energi perubahan itu akan dirasakan pula oleh pasangan dan mendorongnya untuk melakukan hal yang sama. Jadi kita bisa saling menyempurnakan.
Kalau kata Lao Tzu, Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.
Walaupun kita terpisah ruang dan waktu dengan yang kita cintai, kita bisa kok membahagiakannya, simply, dengan merasa bahagia. Kebahagiaan yang kita rasakan, akan dirasakan juga olehnya.
Cinta dengan jiwa adalah cinta yang tak mengenal perbedaan maupun perpisahan, karena di level jiwa kita satu, bisa saling merasakan tanpa mengenal batasan ruang dan waktu.
Meskipun yang kita cintai telah lama mati, energinya kekal di alam jiwa. Tuhan sendiri ada di luar ruang dan waktu, tapi kita bisa rasakan energinya dengan sangat jelas, kapanpun dimanapun.
Kalau kita sering melupakan Tuhan, bisa jadi kita belum mencintaiNya dengan jiwa. Bisa jadi hubungan kita denganNya ya sebatas hubungan transaksional aja, sesuai kepentingan.
Mau jodoh, mau kaya, mau sembuh, mau lulus, mau sakti... baru deh mendekat, merayu, memohon, mengemis. Dzikir ribuan kali, rutin sedekah, puasa sunnah, pergi haji, solat malam, segala macam sampai hajat terpenuhi.
Kalau ga ada kepentingan, ya merenggang lagi.
Kalau kita mencintaiNya dengan jiwa, kebaikan kita ga akan terpengaruh oleh keadaan luar. Sendiri atau ada orang lain ya sama aja, sama-sama baik.
Laki-laki mungkin bisa ya melakukan hubungan seksual tanpa cinta, tapi umumnya perempuan tidak bisa. Menjalin hubungan seksual tanpa cinta yang ada jijik. Jangankan disentuh, dilihat saja risih. Nah, apalagi kalau harus berhubungan setiap hari?
Selama belum menikah, menurut saya ya biasa aja. Ga perlu bucin atau terlalu mengikuti perasaan menggebu-gebu yang sifatnya sementara (infatuation), apalagi sampai main fisik karena hal itu bisa menimbulkan adiksi dan keterikatan yang berujung petaka.
Kalau sudah nikah, itu lain cerita.
Sex itu sendiri adalah singkatan dari sacred energy exchange, pertukaran energi suci antara pasangan suci sebagai proses penyatuan (yuj). 1+1 = 1.
Merasa ga senyatu itu sama orang lain sebelum menikah ya wajar, nge-sex bareng aja belum pernah.
Beberapa pasangan melakukan upaya penyamaan frekuensi bukan melalui komunikasi verbal atau perantara kata-kata yang sifatnya selalu cacat dan parsial sehingga tidak bisa menyampaikan sesuatu secara apa adanya, akan tetapi melalui komunikasi energi yang sifatnya jujur, utuh dan langsung.
Kata dan kebenaran apa adanya (misalnya tentang rasa cinta) adalah dua hal yang berbeda. Kalau Zen bilang, Kata-kata ibarat jari yang menunjuk bulan, tapi kata-kata bukanlah bulan. Mempercayai kata-kata sebagai kebenaran sama menjijikkannya dengan mengatakan bahwa jari adalah bulan. So, untuk memahami sesuatu apa adanya... jalan satu-satunya adalah dengan merasakannya sendiri lewat pengalaman langsung. Bukan dengan kata-kata.
Oleh karena itu puncak tertinggi dari keyakinan adalah mengalami sendiri, bukan sekedar tau atau paham konsepnya dari pengalaman/pengajaran orang lain. Istilahnya, haqqul yaqin.
Balik lagi ke pembahasan soal sex.
Jenis sex yang menduduki hierarki teratas adalah soul sex, dimana pertukaran energi yang terjadi antara kedua belah pihak tidak hanya melibatkan aspek lahir tapi juga batin. Batin yang dimaksud bukan hanya melibatkan emosi tapi keseluruhan aspek batin yang disebut jiwa.
Sex hendaknya tidak dimaknai secara dangkal yaitu untuk memuaskan keinginan mata dan keinginan daging, akan tetapi pertukaran energi yang dilakukan agar sama-sama saling merasakan apa yang selama ini dirasakan oleh pasangan sehingga bisa saling memahami lebih dari kulit.
Salah satu yang mempraktekkan hal ini (penyamaan frekuensi dengan komunikasi energi via berhubungan seksual) adalah kenalan sahabat saya yang tinggal lama di Jepang. Dia bilang, orang-orang di Jepang berhubungan seksual untuk menyamakan frekuensi dengan pasangannya agar lebih nyambung, lebih nyatu. Malangnya, saat dia sendiri melakukan usaha penyamaan frekuensi itu di apartemen Kalibata tidak lama setelah pembahasan itu bersama sahabat saya, dia dibunuh oleh rekan pasangannya sendiri dan dimutilasi hingga masuk berita. Ini kejadian nyata beberapa tahun silam di Jakarta. Naudzubillah min dzalik, semoga dosa-dosa beliau diampuni dan kita bisa memetik pelajaran dari kasus tersebut.
Di akhir jaman ini banyak yang menganggap bahwa berhubungan seksual di luar pernikahan itu adalah hal biasa. Alasannya macam-macam, salah satu yang paling halus adalah untuk menyamakan frekuensi.
Sebenarnya, gak ada alasan apapun bagi kita untuk membenarkan hubungan itu di luar pernikahan, walaupun besoknya nikah sama dia.
Enaknya sebentar tapi resiko besar buat apa? Gak worth it.
Kita bisa mati kapan saja, bisa jadi ketika sedang berzina dan belum sempat bertobat.
Alangkah baiknya jika kita bisa menjaga diri, perbanyak bekal untuk perjalanan yang masih panjang dan kehidupan yang abadi daripada menuruti dorongan nafsu sesaat. Cinta padaNya harus lebih besar daripada cinta pada mahklukNya. Ini sudah harga mati yang gak bisa ditawar-tawar lagi.
Well, kalau kita berani melakukan hubungan itu sebelum nikah, logikanya... kita juga bisa aja berani melakukannya setelah nikah dengan selingkuhan kita. Intinya kan sama-sama berani melakukan hal itu di luar pernikahan sama pasangan non-halal. Kecuali, kita sudah benar-benar menyesal dan sungguh-sungguh bertobat bukannya malah mengumbar di media sosial dan berbangga diri pernah bermaksiat sama Tuhan di hadapanNya padahal Tuhan sudah nutupi aib kita.
Suatu hal yang tidak diridhaiNya, sebaiknya ditinggalkan saja.
Pasangan yang paling berhak dicintai, diberikan loyalitas dan dedikasi adalah pasangan halal yang bisa membuat kita merasa ridha, yakin dan tentram.
Perasaan-perasaan tersebut hanya mungkin dikaruniai Tuhan lewat manusia baru yang sudah tidak lagi didekte oleh keinginan mata, keinginan daging, dan keangkuhan hidup. Akan tetapi, digerakkan oleh keinginan roh.
Manusia lama hanya bikin insecure dan makan hati, nikmat pernikahan berupa ketentraman batin justru akan menjauh dan sulit digapai.
Dengan manusia baru kita akan merasakan surga sebelum mati, bersama manusia lama kita juga akan merasakan neraka sebelum mati.
Mau menjadi surga atau neraka bagi satu sama lain itu keputusan kita.
Manusia baru untuk manusia baru, manusia lama untuk manusia lama. Tuhan Maha Adil.
Loyalitas itu mahal, yang pantas mendapatkannya juga orang-orang mahal.
Menjaga hati bisa dimulai dengan menjaga mata dan jari. Lebih selektif aja dalam mem-follow dan mem-posting sesuatu di social media. Kalau mata aja ga bisa dijaga, mustahil hati kita bisa istiqomah.
Hal-hal yang sekiranya bisa menjadi jalan masuk setan dan meretakkan hubungan, sebaiknya ditinggalkan.
Ga perlu mengumbar nikmat Tuhan yang bisa menarik perhatian banyak orang seperti kemapanan, keindahan fisik, kecerdasan, kemesraan bersama pasangan dlsb baik di media sosial maupun di kehidupan sehari-hari yang bisa mengundang masalah. Entah itu gangguan pihak ketiga (takhbib), penyakit ain serta sihir yang timbul akibat rasa iri dengki dari orang-orang yang punya penyakit hati.
A clever person solves a problem. A wise person avoids it, Albert Einstein.
Orang berakal akan menggembel di luar dan meraja di dalam, bukan sebaliknya.
Quality over quantity. Lebih baik punya, membangun dan menjaga hubungan yang berkualitas dengan satu manusia baru daripada punya hubungan yang ga berkualitas dengan banyak manusia lama.
Remember, as long as you are breathing it's never too late to start a new beginning, Sharon Hill.
No comments:
Post a Comment