Sunday, July 28, 2024

Poligami sudah gak zaman, poligami hanya untuk Nabi?

 Barusan, saya mendengar berita tentang poligami yang dilakukan oleh seseorang yang cukup terkenal. Saya pernah membahas topik ini di salah satu post lama saya. 

Soal poligami yang dilakukan oleh Nabi dulu, saya setuju dengan alasan yang dipaparkan oleh Syekh Muhammad Ali al-Shabunu di sini. Yang jelas, alasan Nabi untuk berpoligami di zaman itu bukanlah karena syahwat, melainkan karena mempertimbangkan aspek pendidikan, agama, sosial dan politik di zaman itu.

Zaman sekarang, poligami itu sudah tidak relevan dan alasan poligami pada umumnya adalah syahwat.



Ayah saya yang pernah menjadi kedua redaksi ensiklopedia Al hadist pernah membahas maksud poligami dari berbagai sisi bersama saya. 
Menurutnya, dengan berpoligami Nabi Muhammad SAW hendak memberikan teladan kepada kita tentang bagaimana cara memperlakukan istri dengan latar belakang yang berbeda-beda (lebih tua, lebih muda, beda strata sosial, beda suku, mualaf dlsb) supaya rumah tangga kita berjalan dengan baik hingga ke surga kelak.

Selain itu, poligami dalam Islam menurutnya adalah salah satu bentuk kritik sosial, yang mana pada zaman itu dan zaman-zaman sebelumnya, orang yang memiliki harta dan kuasa bisa menikahi ratusan bahkan ribuan perempuan. 
Islam mencoba untuk membatasinya dengan cara dan tata bahasa yang sangat halus.
Kita sama-sama pahamlah bagaimana psikologis manusia, manusia itu kan tidak bisa ditegur dan dipaksa untuk berubah secara drastis dalam sekejap mata apalagi dengan menggunakan cara dan tata bahasa yang kasar. 
Perubahan itu butuh proses.
Mengubah tradisi atau kebiasaan yang sudah berlangsung begitu lama hingga mengakar kuat dan mendarah daging di masyarakat itu tidak mudah, apalagi jika disampaikan dengan cara-cara atau bahasa yang dapat menyinggung ego.

Hingga, turunlah ayat ini. Di sini poligami dibatasi menjadi empat saja, tidak sampai ratusan atau bahkan ribuan.


Di kitab suci  (An Nisa' 3) memang dibilang silahkan menikahi dua, tiga atau empat perempuan yang kita senangi selama kita bisa berlaku adil, tapi kalau kita khawatir tidak akan mampu berlaku adil ya nikahilah seorang saja, yang begitu justru lebih baik agar kita tidak berbuat zalim.

Nahhhh.... Ternyata ayat itu belum selesai, ada sambungannya lagi (An-Nisa' 129), di situ dibilang bahwa kita tidak akan bisa berlaku adil. Artinya apa? Ya artinya kita tidak akan layak untuk berpoligami karena kita tidak akan dapat berlaku adil, lebih baik satu saja agar kita bisa menjadi orang yang amanah dan tidak menzalimi istri kita. 

Maksud "kamu" di sini itu jamak, artinya kalian.
"Kamu" di ayat ini bukan diperuntukkan untuk Nabi Muhammad SAW, karena beliau bisa berlaku adil, sedangkan kita tidak akan bisa. Jadi, bukankah itu sama artinya bahwa yang layak untuk berpoligami hanya Nabi, sedangkan kita lebih baik jangan karena kita tidak akan bisa berlaku adil?




---
Akan tetapi, hari gini masih ada aja orang yang melakukan poligami untuk memuaskan syahwatnya.

Parahnya lagi, tidak sedikit orang yang membenarkan pengkhianatan yang dilakukan oleh para lelaki demi memuaskan syahwatnya dengan alasan bahwa lelaki memang punya hak lebih, lelaki tidak masalah jika mendua atau lebih karena lelaki punya hak untuk berpoligami, lelaki tidak ada bekasnya, lelaki jika punya banyak harta dan tahta memang nakal dan lain sebagainya.

Saran saya, daripada melakukan atau mendukung hal-hal yang konyol, lebih baik kita banyakin mikir, dan mencoba lebih berempati kepada orang lain. Coba posisinya di balik. Bagaimana jika kita menjadi pihak yang dipoligami dan diperlakukan secara tidak adil itu? Apakah kita mau? Apakah kita sanggup? 

Setia atau tidaknya seseorang itu tidak tergantung pada gender, keadaan finansial, atau apa pun itu. Siapa pun itu, baik laki-laki maupun perempuan, bisa setia jika dia mau setia. Siapa pun itu, bisa tidak setia jika dia tidak mau setia. Mau setia atau tidak itu pilihan hidup kita masing-masing. Iya, pilihan, sesuatu yang dapat kita pilih dengan kesadaran penuh. Kita yang menentukan mau setia atau tidak, tidak peduli mau seperti apa keadaan kita. Entah kaya, miskin, berkuasa, payah, muda, tua, laki, perempuan, sehat, sakit, ganteng, cantik, dll... Gak ngaruh. Kalau mau setia ya setia aja.

Janganlah kita setia karena faktor eksternal atau paksaan dari luar, misalnya ancaman hukum. Kita semua sama-sama tahulah kalau sudah menikah dan selingkuh itu kita bisa dipidanakan. Tapi, kesetiaan macam apa itu yang dilandasi oleh rasa takut akan hukuman atau keterpaksaan belaka? 
Kesetiaan seperti itu tidak ada artinya.
Kesetiaan yang sesungguhnya didasari oleh kesadaran penuh dan keinginan kuat dari dalam, keinginan untuk menaati perintah Tuhan sebagai orang yang beriman. Orang beriman, diawasi atau tidak, ada hukuman atau tidak, dia akan tetap setia meskipun punya kebebasan dan diberikan jutaan kesempatan untuk memilih tidak setia.

Ciri Pasangan Setia, Gak Bakal Selingkuh atau Mendua Selama-lamanya

Apa pun alasannya, selingkuh adalah perbuatan yang salah, hina, menjijikan, memalukan, menyakitkan dan tidak dapat diterima. Naudzubillah mi...